biar seratus bunga mekar bersama dan biar saratus aliran berlomba, hidup berdampingan jangka panjang dan saling mengawasi jangan sampai generasi muda arogan dan melupakan sejarah

Minggu, 30 Januari 2011

Garuda Pancasila Adopsi dari Lambang Kerajaan Sintang





Patung Burung Garuda ini dipersembahkan oleh Patih Logender pada saat melamar Putri Dara Juanti. Patung Burung Garuda ini dijadikan lambang Kerajaan Sintang pada masa Pemerintahan Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin, tahun 1807 M.

OLEH: BUDIANTO (www.kapuas-raya.com)

Diskursus mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia kembali dibuka, pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, namun ternyata lambang yang dibawa oleh Sultan Hamid tersebut ternyata meminjam lambang kerajaan Sintang.

Hal itu terungkap saat Mediator menemui beberapa saksi sejarah peminjaman tersebut, serta mengkonfrontir mengenai fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II tersebut kini di Simpan di Museum Dara Juanti, yang puluhan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.

“Sekitar tahun 1948, Sultan Hamid Mengunjungi beberapa Swa Praja (pusat pemerintahan sebagai ganti kerajaan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Red), Diantaranya Swa praja Sintang, dan Putus Sibau (Kapuas Hulu. Red), waktu itu saya masih berumur 7 tahun.” Kisah Gusti Djamadin (68), saat ditemui Mediator Dikediamannya di Kampong Raja, Jalan Dara Juanti, Selasa (12/8).

Dikisahkannya, dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, mulanya Sultan Hamid mengunjungi Sintang, kemudian beliau bertolak ke Putus Sibau. Sepulang dari Putus Sibau, Ia kembali Singgah di kerajaan Sintang, dan tertarik pada patung Burung Garuda yang menghiasi Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit. Patung Burung Garuda sendiri, ketika itu sudah menjadi lambang kerajaan Sintang. Sebelumnya, di Putus Sibau, pihak swa praja disana mengusulkan kepada Sultan Hamid untuk menggunakan lambang burung Enggang. Namun Ia tak lansung meng akomodir usul tersebut. Karena Ia tertarik pada lambang Burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang Sultan Hamid berinisiatif meminjam lambang kerajaan Sintang untuk dibawa, “Saat itu pihak swa praja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa syarat, salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita acara peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan,” jelas Djamadin.

Ternyata patung burung garuda tersebut yang kemudian menjadi inspirator lambang negara Indonesia. “Meski pengembalian, kalau tak salah saya tak tepat waktu, namun kini lambang tersebut disimpan di Museum Dara Juanti Sintang.” Ungkapnya.

Senada Dengan Djamadin, Gusti Sulaiman (83) salah seorang pegawai swa praja Sintang yang turut menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Namun diakuinya, pihaknya kini kesulitan menemukan surat peminjaman dengan tandatangan Sultan Hamid II, yang menjadi arsip swapraja. “Maklumlah pengarsipan jaman dulu tak seperti sekarang, pasca digantinya pemerintahan swa prajara menjadi pemerintahan daerah sekitar tahun 1960an, kantor pusat pemerintahan juga dipindahkan, kami sudah tak bisa melacak arsip tersebut,” terang Sulaiman.

Namun kedua lelaki yang masih menjadi saksi hidup peminjaman tersebut menyatakan, tak bermaksud menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung Garuda Sebagai lambang negara, namun mereka hanya berharap ada pelurusan kronologi sejarah dalam hal ini. Mengingat persoalan lambang negara ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan. “Kami tak bermaksud mengklaim asal lambang negara, namun faktanya waktu itu Sultan Hamid II memang meminjam lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda untuk dibawa Kejakarta. Faktanya lambang tersebut menjadi acuan Sultan Hamid mengusulkan Burung Garuda Sebagai Lambang Negara.” Pungkas Sulaiman.


Garuda Pancasila Adopsi dari Lambang Kerajaan Sintang



Patung Burung Garuda ini dipersembahkan oleh Patih Logender pada saat melamar

Putri Dara Juanti. Patung Burung Garuda ini

dijadikan lambang Kerajaan Sintang pada masa Pemerintahan Pangeran Ratu Achmad Qamaru

ddin, tahun

1807 M.


.

.

Jumat, 28 Januari 2011

Biografi Sejarah Pangeran Natakusuma

PERJUANGAN RAKYAT LANDAK ANTARKAN KEMERDEKAAN

Oleh: Syafaruddin Usman MHD

BERMULA DARI POLITIEK CONTARCT KOLONIAL
DALAM 1911, seperti juga di kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kolonial Belanda yang merasa sudah kuat posisi dan kedudukannya, berusaha keras untuk mengendalikan politik pemerintahan otonom lokal feodal lokal di Kalimantan Barat. Untuk itu pemerintah Belanda menyodorkan berbegai naskah perjanjian yang harus ditandatangani. Naskah-naskah ini dikenal luas dengan sebutan Korte Verklaring atau Pelakat Pendek. Dalam naskah perjanjian tersebut, antara lain, dinyatakan agar kepada rakyat ditarik pajak.. Hal ini tentu saja sangat memberatkan rakyat, sebab sebelumnya itu tidak pernah ada.

Dari kontrak pertama antara Kerajaan Landak dengan kolonial Belanda (1845) sampai Politiek Contract (1909) dan 1911, kesemuanya secara berangsur mempersempit ruang gerak dan kekuasaan feodal dan otonom Landak. Dalam isiannya, politiek contrack yang di dan terpaksa lakukan itu intinya adalah” “…administrasi Kerajaan Landak dipegang (kendalikan) oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dikuasakan kepada seorang pejabat selaku gezaghebber atau controleur. Jabatan menteri dalam Kerajaan Landak dihapuskan, pembekal (seorang pimpinan adat) diubah menjadi kepala onderdistrik atau juga kepala distrik. Sedangkan kedudukan raja atau panembahan hanya berfungsi, tak lebih dan tak kurang dari, sebagai pengawas”.

Selain itu, “apanage” dihapuskan, diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang oleh rakyat. Di samping ini, rakyat Landak juga dikenakan suatu keharusan melakukan kerja rodi (heeredienst) selama 20 hari dalam setahun. Sementara, pajak sebesar 10 persen dikenakan untuk hasil hutan. Selain itu juga dikenakan cukai bagi penambangan emas dan pendulangan (pelimbangan menurut tradisi lokal Landak) intan dan berlian.

Adapun Perjanjian Adat 12 (Dua Belas) Perkara yang dibuat antara para peletak dasar berdirinya Kerajaan Landak (modern) Raden Abdul Kahar dan saudara seibunya (Dara Hitam atau Dara Itam) Ria Kanu (Aria Kanuhanjaya) dipasukan oleh Belanda. Sedangkan hukum adat mulai disingkirkan dan dibentuk suatu lembaga pengadilan Belanda yang disebut landraad van justitie.

Seperti juga kerajaan lain di Kalimantan (Borneo) Barat khususnya, Kerajaan Landak diperintah seorang panembahan atau raja. Dibantu oleh beberapa petinggi feodal atau kalangan pangeran (Rijksgrooten) dari keluarga panembahan (Bloed verwanten van den vorst). Mereka, kalangan ini, bergelar menteri kerajaan. Apabila jabatan panembahan atau raja mengalami kekosongan, misal disebabkan raja mangkat sedangkan putera mahkota atau calon pengganti yang bergelar Pangeran Ratu masih belum mencukupi usianya untuk dinaik-tahtakan, maka ditunjuk wakilraja sebagai ackting atau pelaksana harian raja yang bergelar Pangeran Mangku atau Pangeran Mangkubumi.

Hubungan Kerajaan Landak dengan kolonial Belanda, secara administratif, dapat ditelusuri bermula sejak berdirinya Kesultanan Pontianak 1771. hadirnya kerajaan terakhir di Borneo Barat itu, semua aktifitas perniagaan dari Landak dan Kapuas yang semula terpusat di Sukadana dan Mempawah, belakangan difokuskan di Pontianak. Pajak ekspor dan impor perniagaan dari, antaranya Landak, dipungut oleh Pontianak. Landak dengan sendirinya menempati posisi sebagai negeri vazal dari Kesultanan Banten, tentu sangat keberatan atas tindak pemaksaan untuk masalah pajak tersebut. Maka Landak yang merasa dinaungi Banten melaporkan kondisi terakhir ini kepada penguasa Banten. Banten sampai pada masa ini terus menerus dilanda krisis intern. Karenanya, atas laporan Landak, kesultanan ini tak bisa berbuat lebih untuk Landak yang merupakan negeri sekutunya.

Pada keadaan kritis demikian, kolonial Belanda yang pernah terlibat membantu aktif Banten dalam dukungannya pada perang saudara Landak—Sukadana (1698), mendekati Banten meminta agar daerah dan kekuasaan Landak dialihkan kepada Belanda. Maka tak lama kemudian, 26 Maret 1778 sekitar tujuh tahun sejak eksisnya Kesultanan Pontianak, di benteng Diamant Banten, Sultan Abulmafakhir Muhammad Aliuddin melakukan serahterima Landak (dan Sukadana) kepada kolonial Belanda, dalam hal ini VOC.

Pasca penyerahan Landak kepada Belanda oleh Banten, Gubernur Jenderal Belanda (VOC) di Batavia (1778) mengutus Nicolas de Kloek untuk memantau keadaan Pontianak dengan ekspedisinya. Kloek belakangan ditarik dari posisinya sebelum mengakhiri tugas yang diembannya untuk memantau kondisi lapangan di Pontianak, Landak dan Sukadana pasca penyerahan dari penguasanya.

Itu semua tak lepas dari peran Abdurrahman, pendiri dan sultan pertama Pontianak, yang secara khusus mengirim putranya Kasim ke Batavia menemui Gubernur Jenderal di sana. Maka 6 Nopember 1778, Abdurrahman diakui oleh Hooge Regering (Pemerintah Tertinggi Belanda) sebagai Sultan Pontianak dan Sesango (Sanggau) bergelar Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.

Nicolas de Kloek belakangan diganti Residen Willem Adrian Palm dengan jabatan Komisaris. Ia bertindak atas nama Reiner de Klerk Gouverneur General (GG) van Nederlandsch Oost Indische Compagnie dan Raaden van Indie, yang mengukuhkan pemerintah dan kekuasaan Pontianak dan Sanggau. Maka dalam padanya, investiture yang berisi 18 pasal disodorkan kepada Abdurrahman. Dinyatakan di dalamnya bahwa Abdurrahman (Pontianak) dipinjami tanahnya sendiri secara kekal abadi (erfelijk leen) dari Belanda guna melengkapi beridirnya Pontianak.

Suatu kejanggalan memang. Pemilik meminjam hak miliknya sendiri kepada bangsa asing. Landak dalam posisi ini dirugikan. Mengingat daerah kekuasaannya ikut berkurang, di mana sebagian tanah wilayah kekuasaannya diambil-alih Pontianak untuk kemudian dimiliki VOC dan belakangan dipinjamkan oleh VOC kepada Pontianak sebagai pemberi semula. Dengan berdirinya Pontianak, luas wilayah Kerajaan Landak berkurang, sehingga tersisa 8910 Km2, sedang Pontianak menjadi 4545 Km2. bukan tidak ada sengketa antara Landak dengan Pontianak terhadap hal itu. Kembali Landak meminta Banten turun tangan menengahi, namun Banten lepas tangan tak berdaya atas itu semua.

Sejak intervensi Belanda terhadap otonomnya, Landak mulai terlibat permufakatan dengan Gouvernement van Nederlandsh Indie pada 31 Mei 1845, di masa pemerintahan raja Landak Panembahan Gusti Mahmud Aqamaddin (1844—1847). Belakangan, inilah permufakatan pertama Landak dengan Belanda, berlanjut pada 7 dan 17 Juli 1859 di saat pemerintahan Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin (Panembahan Amar, 1847—1874), ditandai Lange Contrack (kontrak panjang). Mulai saat itu di ibukota Kerajaan Landak di Ngabang, Belanda menempatkanpegawai bangsa Eropa selaku Euroopeesch Bestuursambtenaar.

Belakangan, di masa Wakil Panembahan Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin (1901—1922) ditandatangani lagi Politiek Contract 8 Oktober 1909, kemudian Korte Verklaring 19 Mei 1922. dan disertai dua perjanjian ini pula, pengukuhan Pangeran ratu sebagai Raja atau Panembahan Landak Gusti Abdul Hamid Azis dilakukan 4 Nopember 1922. panembahan Hamid sebagai raja menerima kenyataan kekuasaan otonom lokal di bawah kendalinya dalam keadaan serba sempit. Kekuasaan yang dibatasi dan wilayah kekuasaan yang diawasi. Maka jelas, sejak kontrak pertama hingga politiek contract terakhir tadi semua itu secara berangsur, namun pasti, mempersempit ruang gerak dan kekuasaan feodal otonom lokal Landak.

Terhadap tindak-tanduk kolonial Belanda, elit Landak tak berdiam diri. Dengan cara terbatas, mereka bangkit berontak. Meski upaya itu dengan mudah diatasi Belanda. Bahkan, sebatas rencana perlawanan rakyat Landak pun sudah diantisipasi penguasa Belanda, sehingga tak memungkinkan tindakan perlawanan lebih dalam skala besar untuk ukuran pada zaman itu. Namun begitu, Ratu Adi Achmad Kesuma, putra dari Pangeran Mangkubumi Gusti Ismail Raja Haji Isya, menyalakan kobar api perlawanan rakyat Landak yang sangat melegenda. Sekalipun dipadamkan dengan mudah oleh Belanda, akan tetapi benih pemberontakan rakyat Landak menentang dominasi kolonial Belanda mulai menebar untuk kemudian tumbuh subur seiring dengan konteks zamannya.

Seakan meneruskan perlawanan Ratu Adi Achmad Kesuma, yang dikenal luas dengan sebutan Pemberontakan Ratu Adi, dalam 1890 muncul pergolakan bersenjata dipimpin Wakil Panembahan Landak (1875—1890) Haji Gusti Kandut Muhammad Tabri Pangeran Mangkubumi Wira Natakusuma. Perlawanan berwaktu pendek itu, sebagaimana juga perlawanan Ratu Adi terhadap kolonial Belanda berpangkal pada politiek contrack, dengan mudah dipatahkan Belanda. Dan Gusti Kandut belakangan diinternir ke Cianjur hingga wafat di sana (1890).

Maka jelas, sejak pemberontakan Ratu Adi hingga pergolakan Gusti Kandut Pangeran Wira Nata (1890), kesemua perlawanan rakyat Landak, di mana di dalam konteks ini Landak dipandang sebagai perlawanan Melayu—Dayak di satu pihak terhadap Belanda di pihak lain, disebabkan oleh sejumlah hal. Keseluruhannya adalah lantaran:

1. Administrasi Kerajaan Landak diambilalih (kemudian dipegang langsung) oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dikuasakan kepada gezaghebber atau controleur. Dalam padanya sistem pemerintahan feodal otonom lokal Landak sendiri yang memang sudah diwarisi terhapuskan, atau setidaknya diminimalisir oleh kekuasaan Belanda. Antaranya, kedudukan panembahan atau raja tak lebih sebagai pengawas atau mandor, termasuk bersama pejabat Landak di bawah dan jajarannya diberikan tunjangan dari landschap.
2. Apanage dihapuskan diganti dengan blasting yang harus dibayar dalam bentuk mata uang dan disetorkan pada kas lanschap. Di samping itu rakyat diwajibkan melakukan kerja rodi (heeredienst) selama 20 hari dalam setahun. Pajak 10 persen dikenakan untuk hasil hutan, juga 10 persen untuk cukai penambangan emas dan intan atau non-migas.
3. Perjanjian 12 Perkara Adat dihapuskan. Hukum adat perlahan namun diwujud-nyatakan diganti dengan kekuasaan Landraad atau Pangadilan Negeri. Akibatnya, ikatan adat, baik Melayu maupun Dayak, berada di bawah pengawasan kolonial Belanda.

4. Kolonial Belanda selalu menyodorkan kontrak-kontraknya yang sifatnya, jelas, sangat merugikan satu pihak (dalam hal ini Kerajaan Landak). Secara politis, penguasa otonom lokal Landak tersudutkan dengan penandatanganan Lange Contract (Kontrak Panjang) sejak 1859 hingga Nieuw Lange Contract (Kontrak Panjang yang Diperbaharui) 5 Juli 1883.

5. Perjanjian Perbatasan Landak dengan Pontianak 18 Agustus 1886, nyata merugikan Landak, di satu sisi lain terjadi pengurasan luas wilayah dan hasil bumi di wilayahnya oleh kekuasaan otonom lokal lainnya (Pontianak) bersama kolonial Belanda di belakangnya.

PENERAPAN BELASTING DAN HEEREDIENST
SEJAK DITANDATANGANI Kontrak Panjang 17 Juli 1859, apanage dan sejumlah pajak lain, seperti emas dan intan serta hasil bumi non-migas Landak, diserahkan kepada pemerintah Belanda. Sementara, Landak merupakan pasaran komoditi dan produksi hasil bumi yang melimpah, rakyat Landak sendiri tak cukup menikmati hasil bumi mereka. Bahkan, penguasa feodal otonom lokal Landak tak lebih sebagai pemerhati dari perampasan hak-hak yang dimiliki rakyat oleh kolonial Belanda. Keengganan sebagian besar feodal birokrat Landak menentang sikap dan tindakan Belanda ini tak lebih karena posisi mereka di birokrasi pemerintahan Landak sendiri.
Dalam suasana dualistis itu, di satu sisi penekanan oleh pihak Belanda dan di sisi lain birokrat Landak mulai berhitung dengan pertimbangan kedudukan mereka, Wakil Panembahan Kerajaan Landak Gusti Kandut bersikap lain. Ia memelopori suatu perlawanan, meski hanya didukung sebagian kecil birokrat di jajaran pemerintahannya. Satu pertimbangan lain kalangan birokrat tak melebur diri bersama tindak perlawanan Gusti Kandut, di mana benih dukungan terhadap posisi raja yang diemban Gusti Kandut, mulai dipersoalkan. Kalangan tersebut berupaya memanfaatkan kondisi yang diperankan Gusti Kandut untuk merebut posisi wakil raja ini.

Haji Gusti Kandut Muhammad Tabri yang bergelar Pangeran Wira Natakusuma adalah Wakil Panembahan atau Pangeran Mangkubumi Kerajaan Landak kurun 1875—1890. Ia memerintah sejak mangkatnya raja Landak terdahulu, Panembahan Gusti Abdul Majid (1872—1875). Saat panembahan Majid wafat dalam usia muda, ia meninggalkan putra mahkota calon pengganti kemudian nanti masih dalam usia kanak-kanak. Di antara putra-putra Panembahan Majid, antaranya Pangeran Ratu (gelar yang diberikan kemudian oleh Wali Kerajaan) Gusti Abdul Azis dan Gusti Abdurrani yang belakangan bergelar Pangeran Nata Kusuma.

Mengingat itu pula, diasingkannya Pangeran Wira Natakusuma ke Cianjur 1890, maka tahta empuk kerajaan pun dialihkan kepada pemangku jabatan Gusti Ahmad. Selama enam tahun (1890—1896) Gusti Ahmad selaku Pangeran Mangkubumi, dalam 1896 ia kemudian mundur dari jabatannya dan melepaskan kedudukan itu kepada pewaris jabatan ini Pangeran Ratu Gusti Abdul Azis Majid. Sejak menduduki tahta, Panembahan Azis bergelar Panembahan Gusti Abdul Azis Aqamaddin Surya Kusuma. Dalam memerintah, dengan masa kekuasaan yang sangat pendek tak lebih dari tiga tahun, hingga wafat 1896, Panembahan Azis didampingi antara lain saudaranya Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma.

Panembahan Azis wafat dalam usia belia 1896. Saat mangkat setelah sekitar tiga tahun memerintah Kerajaan Landak, ia meninggalkan putra mahkota yang belakangan diberi gelar Pangeran Ratu, masih dalam kandungan Ratu Permaisuri Utin Derma. Mangkatnya Panembahan Azis, sementara pewaris kerajaan (yang kala ketika itu belum dapat dipastikan apakah bayi dalam kandungan ratu permaisuri adalah seorang putra), mengharuskan kalangan birokrasi kerajaan, dengan tak lepas dari campur tangan Belanda, untuk menentukan pengisi tahta kerajaan yang lowong.

Mengisi kekosongan tahta Kerajaan Landak, kolonial Belanda yang sejak diadakannya Korte Verklaring, campur tangan. Mengatur administrasi pemerintahan Kerajaan Landak, dan dengan sendirinya, telah melampaui batas kewenangan di mana dalam menentukan siapa yang berhak menduduki tahta selanjutnya, Belanda andil besar.

Maka, lagi-lagi dengan bimbingan kolonial Belanda, sebagai pengisi tahta yang ditinggal wafat Panembahan Azis diangkatlah Wakil Panembahan Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin yang kemudian menduduki jabatan ini tak kurang dari 23 tahun, 1899—1922. Gusti Budjang adalah putra Pangeran Mangkubumi Gusti Doha, wakil raja Landak terdahulu (1874—1880).

Pihak Belanda, secara halus dan mulanya tak kentara, jelas sangat berkepentingan atas pergantian kekuasaan di Landak. Adanya benih persengketaan kepentingan birokrasi internal di lingkungan feodal otonom lokal Landak yang terpercik sejak pemerintahan Gusti Kandut, dipelihara dengan rapi oleh kolonial Belanda. Oleh sebab itu, politik devide et impera pun diterapkan dalam suasana menempatkan calon pengganti Panembahan Azis yang wafat ini.

Belakangan, timbul dua faksi di lingkungan Kerajaan Landak. Semula faksi ini hanya sebatas wacana internal, namun dipicu kepentingan dan keterlibatan Belanda di salah satu faksi, akhirnya dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Landak dikenal twee takken. Masing-masing Oeloe Tak yang disebut-sebut dengan figur berpengaruhnya Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma dan Wadana Jaya Kusuma Ya’ Bujang serta Ilir Tak dengan figur sentralnya Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin.

Sejak menduduki jabatan Pangeran Mangkubumi (1899), Gusti Budjang pun tak luput dari keharusan menandatangani Politiek Contrack yang dilakukan dalam 1901 dan kemudian 8 Oktober 1909. Semakin nyata, otonom lokal Landak semakin sempit dan tata pemerintahannya semakin terjepit. Dengan begitu, dukungan atas kebijakan yang ditempuh penguasa kerajaan menyebabkan rakyat Landak mengalami keterbelahan.

Di satu sisi mengemuka keinginan menolak kepemimpinan Gusti Budjang, di sisi lain timbul tudingan Gusti Abdurrani memanfaatkan kesempatan untuk menyisihkan pemegang kekuasaan. Timbulnya dualisme ini tak pelak lantaran pemicu persoalan ini, kolonial Belanda, memainkan peranan yang cukup strategis. Sementara itu, terbelahnya dua sikap di lingkungan istana Kerajaan Landak terus mengemuka, rakyat Landak memikul beban berat. Di samping rakyat Melayu—Dayak melakukan kerja paksa (rodi atau heeredients), juga dicekik keharusan membayar pajak yang sangat sukar dipenuhi.
Dengan demikian, kehidupan rakyat Landak yang sudah cukup lama tertekan, semakin menemui kesukarannya. Akibatnya nyata, penderitaan rakyat Landak kian terasa dan kentara.

Adanya tudingan Belanda terhadap sinyalir ada dua tak (Oeloe Tak dan Ilir Tak, atau kelompok hulu dan kelompok hilir) di lingkungan Kerajaan Landak, lantaran mencuat ke permukaan penentangan yang dinampakkan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma. Sebagai menteri kerajaan Landak yang mengatur masalah keamanan dengan diberikan kewenangan untuk membantu pemerintahan di wilayah Menyuke dan sekitarnya, ia mempersoalkan apa yang ditekankan terhadap rakyat.

Dan lebih ke dalam, ia memprotes sikap tidak tegas penguasa kerajaan yang tak ada sikap menolak apa yang dimaukan pihak Belanda. Gusti Abdurrani intinya menuntut eksistensi kekuasaan kerajaan tetap ditegakkan, bahkan ia menghimbau agar tindakan yang ditempuh pendahulu, antaranya Gusti Kandut, untuk diteruskan. Sikap anti-pati ini dimanfaatkan kalangan penguasa yang sedikit-banyak merasa khawatir akan terseret dalam upaya menolak kekuasaan Belanda. Dalam pemikiran yang ada, apabila mengikuti inisiatif Gusti Abdurrani, memungkinkan pihak Belanda akan melakukan perubahan besar-besaran struktur kekuasaan kerajaan yang ada. Maka, jika itu terjadi, penguasa dan jajarannya akan terpinggirkan dan digantikan oleh penguasa yang baru.

Atas pandangan sikap terakhir, kecurigaan semakin menebal, di mana Gusti Abdurrani sendiri adalah saudara kandung dari panembahan terdahulu, Gusti Azis, yang memang memungkinkan mewarisi pula jabatan dan kedudukan dari orangtuanya. Atau dalam pengertian lain, ia berhak menjadi pemangku jabatan atau wali jabatan dari keponakannya yang masih dalam kandungan Ratu Permaisuri Utin Derma, putra mahkota yang ditinggal mangkat Panambahan Azis.

Atas dasar kecurigaan itu pula, pihak pejabat kerajaan semakin merapat dengan penguasa Belanda. Maka, di kalangan luas rakyat Landak, adanya Oeloe Tak dan Ilir Tak sudah bukan sebatas wacana. Namun, manjadi semacam realita yang ada di hadapan mata. Belanda mengisukan, dukungan yang diberikan kepada Ilir Tak lantaran di Oeloe Tak tidak ditemukan adanya figur yang cakap untuk menjalankan administrasi pemerintahan Kerajaan Landak. Ini sebagaimana diterangkan Gezehebber Landak, Later, dalam memorinya De reden dat Goesti Boedjang tot de regering werd groepen was hiering gelegen dat in Oeloe Tak geen geschikte regent, figur te vinden was.

PERTENTANGAN INTERNAL ELIT
DALAM 1912 mulai diberlakukannya pembayaran pajak dengan sistem belasting, uang yang dipungut langsung dan diserahkan ke kas landschap. Dengan perubahan sistem pembayaran pajak ini, dari apanage ke sistem belasting, dengan sendirinya panembahan serta kalangan birokrat feodal lokal Landak mendapat gaji dari landscap atau pemerintah Belanda.

Dalam padanya, kehidupan perekonomian rakyat Landak kian terjepit. Terlebih diberlakukannya kontrak-kontrak yang dipaksakan, sehingga semakin memperkecil dan mempersempit ruang gerak hak dan kekuasaan birokrat Landak. Dipicu itu, kalangan birokrat feodal lokal Landak mengalami perpecahan yang kian meruncing. Dan semakin kentara sejak dihapuskannya sistem apanage dan diberlakukanya sistem pajak belasting disertai rodi 20 hari dalam setahun. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma sendiri selaku menteri Kerajaan Landak yang notabene sebagai apanage houders praktis tidak mempunyai kuasa lebih dari sekadar simbol belaka untuk jabatan itu.

Di wilayah kerja-tugasnya, Menyuke khususnya, Gusti Abdurrani dikenal sangat berpengaruh. Bukan saja sebagai menteri kerajaan jabatan yang disandang olehnya, tetapi juga kedekatan dengan rakyat di sana. Mayoritas masyarakat Dayak dalam wilayah kerja Natakusuma sangat fanatik dengan kebijakan yang ditempuh sang menteri kerajaan ini. Apalagi, di lapangan Ya’ Bujang Wedana Jaya Kusuma merupakan tangan kanan Natakusuma yang leluasa bergerak memberikan pengertian ke depan di kalangan rakyat luas tentang sistem belasting yang diberlakukan ini bila tidak ditengarai berbagai kalangan akan memberikan ekses tersendiri. Ekses itu terutama pada faktor perekonomian rakyat tradisional khususnya.

Pengaruh kuat itu pula yang melibatkan dukungan yang segera diberikan sejumlah pemuka adat dan pemimpin tradisional lokal di kalangan masyarakat Dayak, terutama dari sejumlah panglima adat yang berpengaruh, antaranya Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui. Itu semua selanjutnya diwujudkan dalam suatu bentuk mengkristalnya kebulatan tekad untuk meletuskan sebuah pemberontakan bersenjata. Dan ikatan emosional di kalangan pemimpin lokal dengan rakyatnya ini diperkuat suatu jalinan dikukuhkannya kembali sistem Perjanjian 12 Perkara Adat oleh Pangeran Natakusuma, di mana oleh Belanda, salah satunya masalah ini telah dihapuskan.

Dihapuskannya sistem ini, salah satu dari beberapa hal penting lainnya yang didelete kolonial Belanda, dikarenakan kecurigaan di dalam sistem itu sangat potensial jalinan kuat antara Dayak dan Melayu dalam suatu ikatan emosional bersama yang utuh dan menyeluruh. Hal disebutkan terakhir, dalam pandangan penguasa landschap Belanda sangat membahayakan jalanannya kekuasaan yang diterapkan. Namun di sisi lain, kalangan birokrat feodal lokal Landak sendiri, memainkan suatu peranan dalam kedekatannya dengan kalangan landschap Belanda, di mana isu yang dihembuskan, dalih mempertahankan perjanjian adat 12 perkara itu bukan semata masalah kepentingan sosial ekonomi, namun menurut pengaduan kalangan tersebut, tak kurang sebagai upaya menyusun suatu rencana strategi dalam rivalitas kekuasaan di lingkungan Kerajaan Landak itu sendiri.

Dalih terakhir ini sebetulnya oleh Belanda tidak begitu berpengaruh, apalagi dibanding kekuatan yang dimiliki dalam kekuasaannya. Namun, dalih itu menjadi sangat diperhatikan, bahkan dijadikan manajemen konflik, karena adanya kepentingan khusus. Belanda sebagai suatu rahasia umum berkepentingan menjalin hubungan baik dengan kalangan birokrat penguasa otonom lokal Landak, oleh sebab itu, sinyalir perpecahan di kalangan ini dikelola semaksimal mungkin. Sehingga dalam pandangan Belanda, sesungguhnya kedua faksi yang menjadi rivalitas di Landak ini sama-sama dikuasai dengan cara penguasaan yang berbeda.

Hal dimaksudkan terakhir, Belanda memandang Oeloe Tak bahkan dianggap sebagai musuh berbuyutan, sedangkan Ilir Tak sebagai mitra kerja dalam penyelenggaraan tata pemerintahan. Maka dengan begitu, wacana Oeloe Tak dan Ilir Tak mengalami suatu perubahan menjadi kenyataan. Apalagi, dari pendekatan khusus Belanda, mengantarkan kalangan Ilir Tak pada kesimpulannya untuk bersekutu dengan Belanda dalam rangka stabilitas pemerintahan Kerajaan Landak dan dinamitas penguasaan Belanda. Namun sebetulnya, di sisi menyimpang dari perselingkuhan Ilir Tak dan landschap Belanda itu tak lebih sebagai upaya, dengan menolak konsep Oeloe Tak, untuk melanggengkan kekuasaan yang dipegang dalam mengelola pemerintahan otonom lokal Landak itu sendiri.

Dukungan masyarakat luas Menyuke melalui para elitnya, dalam hal ini sejumlah panglima adatnya, diwujudkan dengan diedarkannya isyarat pergolakan rakyat secara utuh dan menyeluruh yang dinamakan damak. Damak, dalam konteks ini adalah semacam tongkat komando atau instruksi wajib dipandang dari sudut adat-istiadat lokal masyarakat, sama halnya dengan isyarata adat mangkuk merah. Isyarat ini merupakan ikatan atau jalinan emosional masyarakat luas dalam wilayah penyebarannya untuk mendukung suatu upaya atau gerakan yang diinstruksikan pemimpin atau para panglima adat untuk suatu hal tertentu. Dan dalam waktu relatif singkat, peredaran damak sudah meliputi seluruh wilayah kerja menteri kerajaan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma.

Beredarnya damak yang kemudian menjadi isyarat peperangan ini, selain memperoleh sambutan luas, juga menjadi ikatan emosional masyarakat majemuk Dayak dan Melayu yang dalam bagian tertentu dikatakan sebagai sebuah faksi bagi Oeloe Tak. Pada mereka, isyarat itu sebagai komando peperangan. Dan dalam pengertian mereka pula isyarat damak tak kurang sebagai sebuah perlawanan untuk pertumpahan darah. Maka di kalangan Oeloe Tak suatu keyakinan mendalam, pertumpuhan darah di daerah Landak oleh Dayak dan Melayu adalah satu darah: merah dan satu jiwa: putih. Konteks ini melihatkan jiwa semangat dan nilai kehidupan yang mereka emban diterjemahkan sebagai merah putih darah dan jiwa yang menyala di dalam diri masing-masing mereka.

Menjelang beredarluasnya damak, sebetulnya suatu upaya meredam itu semua sudah dicoba oleh kalangan Ilir Tak. Dalam sebuah perhitungan mereka, bila isyarat adat ini terpenuhi oleh berbagai kalangan masyarakat Landak, memungkinkan kegoyahan dalam roda pemerintahan Landak segera mengemuka. Namun hal itu tak terlampau diperhitungkan, mengingat Belanda memberikan perlindungannya bagi kalangan ini dalam persaingan kuat dengan kalangan Oeloe Tak.

Dan untuk itu pula, ketika sistem pajak belasting dan rodi dirubah menjadi sistem pajak belasting dan rodi atau dalam istilah setempat nembok diberlakukan per-pintu atau lawang rumah masyarakat dan diberlakukan pula bagi masyarakat di atas 15 tahun. Dan dalam waktu bersamaan sistem ini kembali diperketat, untuk diberlakukan per-kelambu, atau dalam pengertian harus diterima dan diterapkan secara menyeluruh. Kalangan Ilir Tak sama sekali tidak menggubris sistem ini. Bahkan terkesan memuluskan jalannya penindasan Belanda terhadap rakyat Landak itu sendiri. Adanya sistem diberlakukan itu jelas membawa dampak resiko yang sangat menyulit dan menyudutkan rakyat.

Perubahan pajak dari pintu ke kelambu bagi orang yang sudah dewasa membawa dampak luas, tipa lawang atau pintu biasanya terdiri dari beberapa kelambu. Turun nembok, istilahnya, biasanya bersamaan waktunya dengan saat mulai bercocok tanam padi di ladang. Akibat dua sistem ini, kesemua aktifitas agraris masyarakat Landak terbengkalai. Siang malam rakyat menjalankan perintah rodi, sebelumnya hanya 20 hari dalam setahun, namun belakangan terakhir dengan waktu tak terbetas. Dan kalangan Ilir Tak sama sekali tak memberikan reaksinya atas sistem yang menyimpang dari tata aturan semula ini.

Dikarenakan diberlakukannya sistem tersebut, sebagian masyarakat Landak memilih meninggalkan daerah semulanya. Mereka hijrah ke wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak, termasuk ke Sungai Ambawang dan Sekilap Sepatah di tepi aliran Sungai Landak dan Sungai Ambawang. Oleh sebab itulah, damak yang semula beradar di kalangan terbatas, kemudian memperoleh dukungan luas. Tak sebatas wilayah edarnya di daerah Menyuke, damak belakangan meluas ke seluruh wilayah Kerajaan Landak. Dan di belakangan tabir itu semua, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma bersama Ya’ Bujang Wedana Jayakusuma adalah konseptor yang memainkan peranan penting dan menerapkan langkah strategisnya.

PERGOLAKAN BERSENJATA RAKYAT LANDAK
Saat perayaan khitanan (besnijdenis van den) Pangeran Ratu Gusti Abdulhamid, putra panembahan terdahulu Azis, kepala-kepala dan tua-tua kampung di samping turut merayakan pesta tersebut, juga membawa sumbangan sebagaimana digariskan dalam Hukum Adat 12 Perkara. Di antara mereka ini yang hadir Mangku Rasan, Mangku Bintan, Mangku Empen, Raksapura Setolo, Temenggung Jelimpo, Temenggung Naya dan lainnya. Perhelatan tujuh hari ini dimanfaatkan para tetua dan pemuka rakyat mengatur strategi dikoordinir Panglima Ganti dan Anggui dari Kampung Rasan, Panglima Bida dari Kampung Rayan dan Panglima Daud serta Ya’ Bujang Wedana Jaya Kesuma bekas Wedana Darit. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma berada di belakang layar rencana yang akan dilakukan kemudian.

Controleur van Landak Marius Lodewijk Horsting seorang bestuur berpendirian keras. Dia sangat dekat [atau sebaliknya] elit Kerajaan Landak masa ini. Wakil Panembahan Gusti Budjang Isman Tajuddin Pangeran Mangkubumi, dan Ya’ Amin Adipati Wira Negara digolongkan dalam kelompok ini. Ketiganya kurang disenangi rakyat, dikaitkan dengan Partai Ilir dan Partai Ulu. Semakin jelas Ulu Tak dan Ilir Tak, melonggarkan strategi yang dimainkan Horsting, terlebih Gusti Bujang dan Ya’ Amin dua elit yang berpengaruh dalam birokrasi Landak sukar dipisahkan dari kebijakan bestuur ketika itu.

Selasa malam 1 Nopember 1912, atas undangan Sunduk Mangku Rasan secara rahasia atas perintah Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma, berkumpul sejumlah kepala dan tetua Dayak dan Melayu masing-masing beserta pengikutnya. Disiapkan adat berimah, suatu upacara sakral memanggil roh leluhur untuk keberhasilan suatu rencana. Pada 2 Nopember paginya, di muara Sungai meyuke di Kampung Munggu percabangan Sungai Landak ke arah Ngabang, acara sakral inipun dilakukan. Sedikitnya mendatangkan 700 orang rakyat Dayak dan Melayu yang bersimpati dan terkoordinir untuk menuju ke suatu tujuan khusus yang disiapkan Natakusuma.

Namun demikian, sejak acara sunatan Pangeran Ratu Gusti Hamid di Keraton Raja Ngabang, bestuur ambtenaar Belanda dalam lingkup kontrolir telah mencium gelagat ini. Mungkin ini latarnya, 30 Oktober 1912, sehari sebelum persiapan berimah dilakukan, dari Pontianak Controleur Horsting berada di Munggu diikuti pasukan tambahan dari Pontianak. Militer dalam jumlah kecil namun bersenjata lebih dari yang dihandalkan rakyat, dipimpin Letnan Krabbenbos dengan sejumlah serdadu dan gewapende politie dinaar, masing-masing 6 orang, serta Daeng Saleh Polisi Kahar atau Landschap.

Entah bagaimana, Horsting serta merta memanggil Pangeran Nata Kusuma (diikuti juga dengan dipanggilnya Pangeran Riya) untuk sebuah pertemuan. Mereka berada di atas Kapal Kahar, armada kecil yang membawa kontrolir beserta pasukan bersenjata dari Ngabang dan bantuan militer dari Pontianak. Rencana semula, kapal ini akan ditembaki di daerah Sempadang. Namun, satu sama lain pemuka Dayak dan Melayu yang telah berimah tak menangkap isyarat lebih. Sebaliknya, keberadaan Natakusuma di kapal tersebut, terlebih diikuti Pangeran Riya, mereka menafsirkan telah terjadi suatu perdamaian keduabelah pihak.

Di Ngabang saat bersamaan, sekitar 700 rakyat dibubarkan. Termasuk Sunduk Mangku Rasan, dipanggil ke kantor kerajaan dan dihadiahi sebungkah mando [tempayan] dan piring putih tanda adat persaudaraan dan perdamaian oleh Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin. Dengan sendirinya, rakyat yang telah bersiap bertempur terpelah. Sebagian besar kembali ke kampung halaman, sebagian kecil masih bertahan mengikuti perkembangan lanjut. Dan yang disebutkan terakhir menemukan suatu fakta nyata dipimpin Panglima Anggui dan Ganti. Mereka sadar, suatu muslihat telah terjadi, Natakusuma masuk jebakan kontrolir, tentunya atas strategi yang dipersiapkan elit kerajaan yang memang berseberangan dengannya.

Malam 3 Nopember 1912, Anggui dan Ganti diikuti beberapa orang pengikut menyusup memasuki Ngabang. Mereka bertahan di sekitar Kampung Raja dengan mengamankan diri di sekitar rumah Gusti Sahidin. Dari jarak yang tak terlalu jauh dari kolong rumah Gusti Sahidin pula, Panglima Ganti melepaskan tembakannya ke arah Ya’ Amin Pangeran Adipati Wira Negara. Dan letusan senapannya yang mengarah ke sasaran yang tepat, Ya’ Amin roboh seketika. Seketika pula Ganti dan Anggui meninggalkan Ngabang kembali ke Rasan. Dari sana, mereka masing-masing memboyong keluarga menuju Sambeh untuk selanjutnya ke Pontianak atas bantuan Wedana Suta yang menyembunyikan mereka.

Atas kejadian itu, beberapa hari kemudian Asisten Residen Borneo Barat Edward Ludwig Martin Kurh berada di Ngabang. Dia diikuti Controleur Horsting serta membawa Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma serta mengajak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin. Namun, suatu yang tidak diduga sebelumnya, tidak berapa lama memastikan Ngabang berada dalam keadaan aman, Kurh serta rombongannya kembali ke Pontianak, dengan menawan Gusti Abdurrani. Di Pontianak Natakusuma diinapkan di tempat terpisah dengan Pangeran Mangkubumi, Natakusuma di sebuah rumah milik seorang Cina sedangkan Mangkubumi di rumah kapten Djengkawang.

Beberapakali Natakusuma meminta waktu menghadap Residen Hendri de Vogel MH Zn, namun tidak diberi sedikit kesempatan. Setelah mangkubumi dan Horsting kembali ke Ngabang, Natakusuma langsung diinapkan khusus di kediaman seorang jaksa, untuk selanjutnya dirumahkan di penjara Sungai Jawi Pontianak. Sekitar seminggu di penjara Pontianak, kemudian dipindahkan penahanannya di Batavia bertempat di Kampung Ketapang bersama Ya’ Bujang yang juga telah ditangkap. Kurun dua tahun, 1912—1914, Natakusuma ditahan di Batavia, seterusnya dengan Besluit Gouverneur generaal Alexander Willem Frederik Idenburg atas dasar Exorbitante Rechter 6 januari 1914 Nomor 43, Natakusuma diasingkan seumur hidup. Ia dan Ya’ Bujang dipersalahkan melanggar Art 48 RR, dan sejak 16 Maret 1914 mendekam di tanah pembuangannya di Bengkulen.

NYALA API TAK KUNJUNG PADAM
Keberadaan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma sebagai salah seorang pewaris birokrasi feodal lokal Landak tidak memperoleh tempat di mata kolonial Belanda. Elit birokrasi Landak sendiri bersikap sama memandang keberadaan Natakusuma. Bahkan digariskan sebagai orang yang menghalangi suatu pasifikasi di lingkungan Kerajaan Landak. Karena itu, pertikaian antar elit yang di satu pihak Natakusuma beserta pengikutnya dengan di lain pihak elit feodal Landak dibayangi kolonial Belanda, tidak mungkin terhindarkan. Meski dalam kenyataannya, keduabelah pihak tidak menampakkan keterusterangan mereka dalam suatu silang sengketa. Seterusnya, kondisi nyata diperlihatkan dengan adanya campur tangan Residen Borneo Barat, yang sudah barangtentu dengan sepengetahuan Gubernur Jenderal di Batavia, mempertegas pertikaian elit Landak tersebut.

Saat Natakusuma diinternir di Batavia, menunggu keputusan terakhir yang kelak mengantarkan ke pengasingan hingga akhir hayatnya, seorang advokat berkebangsaan Belanda, Mr AJG Maclaine Pont, berusaha melakukan suatu pembelaan. Namun, upaya itu tanpa banyak pertimbangan, ditolak tegas Gubernur Jenderal, terutama terhadap surat yang diajukan Pont 5 Mei 1913 kepada Raad van Nederlandsch Indie yang dimaksudkan untuk suatu pembelaan dalam perkara yang dituduhkan. Natakusuma sendiri, beberapa hari menjelang diberangkatkan ke pengasingannya di Bengkulen menulis surat kepada pemerintah kolonial yang disampaikan melalui CM Kan Ajudan Gubernur Jenderal di Batavia, pun tidak memperoleh respon sama sekali.

Dalam kasus ini, sebetulnya pihak pemerintah Belanda tidak mengabaikan hak-hak pembelaan diri yang dimiliki Natakusuma. Akan tetapi, suatu permintaan (mungkin lebih tepat pengaduan yang dilebih-lebihkan) kalangan elit Landak, menyebabkan pihak kolonial menutup rapat kesempatan itu sama sekali. Controleur Horsting sangat berkepentingan, seperti juga elit Landak, dikarenakan Natakusuma dalam latar belakang pergolakannya menentang skandal korupsi yang terjadi di sana, di mana penyelewenangan penerimaan belasting dan pelaksanaan pekerjaan rodi nyata-nyata dipeti-eskan oleh Horsting dan elit Landak sendiri. Bahkan, keduanya di satu pihak menikmati buah korupsi tersebut dengan cara masing-masing.

Dalam konsideran Besluit Gouverneur Generaal nomor 43, 6 Januari 1914 yang ditimpakan kepada Natakusuma, tuduhan yang memberatkan padanya antara lain: … bahwa untuk mencapai tujuannya, ia [Natakusuma] telah menggunakan berbagai kesempatan, menghasut rakyat di Kerajaan Landak, mendurhaka pada pemerintah. Bahwa pada 1911 sewaktu perayaan menyunat Pangeran ratu Gusti Abdulhamid ia [Natakusuma] telah mengatakan: … kalau saya menjadi raja rakyat dikenakan belasting 1 ringgit (f2,50), seekor ayam dan segantang beras pertahun. Bahwa pada kunjungan keliling di Sengah Temila (daerah pegangan kekuasaan Natakusuma), ia [Natakusuma] telah membicarakan kepada penduduk ide baru mengenai pembayaran belasting sama dengan apa yang telah dibicarakannya sewaktu perayaan menyunat Pangeran Ratu. Bahwa ia telah menyebabkan penduduk Kampung Ransam membangkang tidak mau membayar belasting dan kerja jalan (rodi) dan kemudian pembangkang ini diikuti oleh kampung-kampung lainnya. [Natakusuma} memerintahkan kepada kepala-kepala dan tua-tua Dayak dan Melayu untuk menghadiri pertemuan rimah besar di Kampung Munggu di Kuala Menyuke pada Oktober 1912 ...

Juga besluit itu menuduhkan: … bahwa ia [Natakusuma] ketika dibawa serta oleh Controleur bersama pasukan menghadiri rimah besar di Munggu, ternyata pasukan tersebut tidak ditembak pemberontak. Bahwa ia setelah peserta rimah besar di Kampung Munggu Kuala Menyuke telah kembali ke kampungnya masing-masing, ia [Natakusuma] menyuruh Kaij Djali bin Djulak untuk pergi berkunjung ke Kampung Rasan menyampaikan pesan berupa perintah kepada Sunduk Mangku Rasan, bahwa apabila pasukan tentara datang ke Rasan untuk menangkapnya, harus ditembak. [Dan] … bahwa ia telah mengirim surat perintah untuk menggalakkan perjuangan, harus mendirikan kubu-kubu pertahanan di Sungai Ringin, Jering, Mandor dan pada beberapa tempat lainnya. Serdadu Belanda yang datang ke kampung agar diusir jauh-jauh atau ditembak mati …

Sebetulnya, hubungan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma dengan onlusten (kaum pemberontak) sangatlah jelas. Namun Natakusuma tidak tampil memimpin langsung perlawanan yang dilakukan rakyat Landak, melainkan sebagai orang yang berada di belakang layar perlawanan rakyat Landak [Dayak dan Melayu]. Perlawanan yang dilakukan, tampil ke depan adalah para panglima dan pengikutnya yang semuanya menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Karena itu, sebetulnya tidak terdapat bukti kuat serta alasan mendasar bagi kolonial Belanda menangkap dan menghukum Natakusuma dari sudut pandang ini.

Pada permulaan, Natakusuma luput dari pengawasan lain Bestuur kolonial Belanda dengan adanya pergolakan rakyat Landak. Namun, elit Landak yang berseberangan dengannya membisikkan apa yang sebetulnya menjadi ketidaksenangan pihak ini terhadap Natakusuma kepada kolonial Belanda. Sejak diedarkannya damak perang sebagai reaksi dari pemungutan belasting dan diberlakukannya kerja rodi yang menyimpang dari politik contrack 8 Oktober 1909, rakyat Landak pertengahan 1912 membangkang menolak membayar belasting dan melakukan heerendienst. Bahkan mereka melakukan perlawanan terhadap petugas pemerintah yang datang ke kampung-kampung untuk menagih belasting dan memerintahkan turun rodi. Di banyak tempat di Landak terjadi pemberontakan dan korban berjatuhan di pihak polisi atau militer Belanda.

Natakusuma pernah meminta ijin kepada Controleur Landak untuk mengerjakan sawahnya di Maran, ia disertai pangeran Riya sebagai pemegang kuasa di daerah itu. Kesempatan ini sebetulnya dipergunakannya untuk berhubungan dengan Sunduk Mangku Rasan yang mengantarkan rimah besar di Munggu kelaknya, di mana letak Maran dan Rasan berdekatan. Kesempatan perayaan menyunat Pangeran ratu Gusti Hamid (besnijden van den Pangeran Ratu), para pemuka Dayak dan Melayu, yang dalam skala khusus berada di pihak Natakusuma, menjadikan sisi lain acara itu untuk mereka bermufakat menyatukan pendapat untuk melaksanakan apa yang digariskan Natakusuma: perlawanan rakyat Landak.
Sehari menjelang 2 Nopember 1912, sewaktu pemuka Dayak dan Melayu beserta pengikut mereka berdatangan di Munggu di Muara Menyuke untuk rimah besar, Natakusuma tidak ikut hadir. Ia saat itu bersama beberapa orang lainnya termasuk Letnan Krabbenbos sedang melakukan perburuan di Merasa. Strategi ini diciptakan untuk merupakan alibi yang kuat bahwa ia tidak tahu dan tidak ikut terlibat dalam rimah tersebut. Akhirnya, 4 Nopember dengan ikut sertanya Natakusuma bersama pasukan dari Pontianak mudik ke Munggu, ia menemui nasib malang. Serangan para pemberontak terhadap pasukan Belanda tidak kelihatan sama sekali, bahkan Natakusuma sendiri kemudian ditawan. Kesemua itu telah ditelikung elit Landak yang berseberangan dengannya, dengan suatu persekutuan dengan Belanda, mereka berhasil menyingkirkan Natakusuma.

DENYUT NADI REVOLUSI KEMERDEKAAN KALIMANTAN BARAT (IX)

GAPI--PRI DAN PEMOGOKAN UMUM

Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Menjelang pertengahan akhir 1946 pa
da 18 Desember, di Pontianak dibentuk sebuah organisasi perjuangan yang bersifat politik dcngan nama "Gabungan Persatuan Indonesia", disingkat GAPI. Di dalam kepengurusannya, ditetapkan suatu susunan pengurus dengan Ketua dr M Soedarso, Wakil Ketua Muzani A Rani. Penulis I dan II masing-masing dijabat oleh M Achmadsjah dan Rd Wariban, selaku Bendahara dijabat oleh Marah Kusuma (MK)
lndra Mahjuddin. Selain itu, kepengurusan GAPI-Pontianak dilengkapi dengan beberapa or¬ang pembantu, di antaranya J Lumenta, Rd Soekotjo Karim, A Muthalib Rivai, Sabam Hendrik (SH) Marpaung, LT Pandjaitan, Abdul Samad (AS) Djampi dan Sangidjo.
Pada 18 Mei 1947 bertempat di "Gedung Sukma" Pontianak, dilangsungkan sebuah konferensi kerja GAPI Pontianak. Dalam konferensi ini dihadiri oleh utusan dari berbagai daerah se Kalimantan Barat. Hasil dari konferensi ini menetapkan beberapa keputusan, antara lain mengenai status Kalimantan Barat, tentang kedudukan Kalimantan Barat dan Kalimantan Barat dalam hubungannya de
ngan pembentukan RIS. Selain itu, sebuah putusan penting lainnya adalah untuk mcmbentuk sebuah "Ikatan GAPI".

Tentang pentingnya segera membentuk "Ikatan GAPI" ini, karena di Singkawang pun sudah terbentuk pula sebuah organisasi dengan nama yang sama, GAPI Singkawang. Namun demikian, GAPI Singkawang adalah berdiri sendiri, di bawah pimpinan Maizird Achmadyns. Untuk menggalang kesatuan langkah dalam perjuangan selanjutnya, diperlukan adanya sebuah wadah yang baru untuk dapat menghimpun secara keseluruhan. Hal itu1ah yang dijadikan alasan perlunya dengan segera membentuk sebuah Ikatan GAPI tersebut. Dengan demikian, "perikatan" tersebut, bersifat federatif.

Dengan terbentuknya "Ikatan GAPI Kalimantan Barat", maka keseluruhan pcngurus GAPI Pontianak yang dibentuk sebelumnya, 18 Desember 1946, seluruh kepengurusannya merangkap sebagai pengurus lkatan GAPI Kalimantan Barat, untuk waktu sementara. Hal itu dibeban tugaskan hingga terbentuknya kepengurusan GAPI Pontianak yang baru.
Pada Minggu 19 Oktober 1947, berlangsung rapat GAPI Pontianak yang memutuskan bahwa GAPI tetap bersikap Non-¬Kooperasi terhadap Dewan Kalimantan Barat. Sikap ini akan dibawa ke dalam rapat Ikatan GAPI Kalimantan Barat atau melalui referen¬dum, apabila rapat tersebut tidak dapat dilaksanakan mengingat kea¬daan. Seterusnya di Pontianak dilangsungkan sebuah rapat pada 25 Desember 1947 yang membentuk "Baitulmaal" di Gedung PBI. Beberapa orang anggota GAPI menilai pembentukan badan tersebut sebagai sebuah "afleidingsmanoevre", mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan politik.

Dalam sebuah rapatnya pada 19 Januari 1948, GAPI Pontianak memutuskan sebuah ketetapan dan menyatakan sikap terhadap pemilihan anggota Dewan Kalimantan Barat. Sikap yang lunak diketengahkan terhadap Pemerintah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), di mana GAPI Pontianak menyatakan bersedia umuk ikut serta dalam pemilihan anggota Dewan Kalimantan Barat.

Pertengahan Maret 1948, dalam pembukaan kotak suara hasil pemilihan anggota Dewan DIKB mengenai daerah pemilihan Pontianak menghasilkan jumlah suara yang besar untuk dr M Soedarso (Ketua Ikatan GAPI Kalimantan B
arat). Menyusul kemudian suara diraih Masjhur Rifai yang juga Wakil Ketua GAPI Pontianak. Dr M Soedarso pada waktu itu masih berada dan mendekam di dalam penjara Cipinang, Jakarta.

Pada penghujung Februari 1948, tersusun sebuah kepengurusan baru GAPI Pontianak yang diketuai Radjikin dengan wakil ketuanya Masjhur Rifai. Dalam kepengurusan itu dilengkap dengan Sekretaris I dan II, masing-masing Masjhur Rifai dan M Yanis. Sedangkan Bendahara I dan II dijabat oleh JR Manusama dan M Jusuf Ali. Menjadi scbuah catatan penting, sehabis berlangsungnya pemilihan kepengurusan baru GAPI Pontianak tersebut, Dr M Soedarso ditang¬kap polisi militer NlCA-Belanda untuk dikirim ke penjara Cipinang Jakarta.

Pada 24 Maret 1948, GAPI Pontianak dan Ikatan GAPI Kalimantan Barat membentuk sebuah Panitia Kasasi untuk Dr M Soedarso, di mana panitia itu terdiri dari Achmad Daud Sutan (ADS) Hidayat, MA Caramoy, Muzani A Rani, M Nazir Effendy, Rd Kumpul dan J Lumenta. Selanjutnya, pengurus GAPI Pontianak dan Ikatan GAPI Kalimantan Barat dalam rapatnya di Gedung PBl memutuskan untuk mengutus Muzani A Rani ke Jakarta, mengurus so
al kasasi Dr M Soedarso.

Organisasi politik GAPI terus menjalankan aktifitasnya seiring dengan perkembangan kondisi politik di Kalimantan Barat. Dalam rapat tahunan GAPI Pontianak yang berlangsung di Gedung Sukma Pontianak pada 18 Juni 1949, ditetapkan sebuah susunan kepengurusan baru terdiri dari Masjhur Rifai selaku Ketua, dibantu ketua mudanya J Lumenta. Sekretaris I dan II masing-masing M Yanis dan R Suwarno, Bendahara I dan II LT Pandjaitan dan M Jusuf Ali. Dalam kepengurusan ini ditetapkan pula para komisaris yang terdiri dari Radjikin, B Abubakar, M Achmadsjah dan Rd Soekotjo Katim.

Selain itu, selengkapnya kepengurusan dilengkapi dengan beberapa departemen, masing-masing Departemen Politik yang di dalamnya duduk A Muthalib Rivai, AS Djampi dan SH Marpaung. Untuk Departemen Ekonomi di dalamnya duduk Muzani A Rani dan A Mansjur Thahir. Untuk Departemen Sosial terdiri dari Sangidjo, Nurdin Siregar, Soritua Siregar, Burhan dan M Thaib. Dan untuk Departemen Penerangan terdiri dari A Mawardi Djafar, Masjhul Rifai dan Kanjun Prawiradilaga.
Pada 25 Juli 1949 beberapa waktu kemudianGAPI mengadakan kembali sebuah rapat pengurus di Gedung PBI Pontianak.
Pengurus tidak mencantum apa-apa dalam agenda rapatnya, kecuali laporan dari Masjhur Rifai mengenai Konferensi Inter-Indonesia. Seterusnya pada rapat GAPI, 19 Oktober 1949 diputuskan untuk mengadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih di lapangan Kebun Sayur.

Upacara itu sendiri dilaksanakan pada 24 Oktober 1949 yang dihadiri sedikitnya 3.000 massa rakyat. Pengibaran bendera Merah Putih tersebut juga disertai dengan sebuah rapat umum oleh GAPI. Selain massa rakyat, juga dihadiri beberapa organisasi Cina, seperti Long Kang Hwee dan Persatuan Tionghoa. Berbagai masalah yang menyangkut kondisi Kalimantan Barat, terus menerus sebagai agenda pembahasan GAPI. Dalam rapatnya pada 26 November 1949, bertempat di Gedung PBI, GAPI se
telah melakukan suatu pembahasan, kemudian menerima hasil-hasil KMB sebagai suatu realita. Akan tetapi, perjuangan ke arah Negara Kesatuan tetap diprioritaskan. Selanjutnya rapat GAPI hari itu membicarakan pula keikutsertaan dalam upacara penyerahan kedaulatan.

MISI TNI PERTAMA

Pada 27 Desember 1949, berlangsung upacara Pengakuan Kedaulatan di rumah bekas kediaman Residen Kalimantan Barat. Sebelumnya telah tiba di Pontianak Letkol Sukanda Bratamanggala dan Mayor Suharsono dan Banjarmasin atas usaha SH Marpaung yang pada 25 Desember sebelumnya, dengan pesawat terbang ke Jakar
ta untuk mengadakan penjemputan atas nama Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB). Dan pada 1 Januari membuka 1950, Tentara Nasional Indonesia, TNI di bawah pimpinan Mayor Suharsono meresmikan markasnya di Pontianak. Pada saat bersamaan dilakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih oleh kepanduan API dan PII di Pontianak.

Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pertamakalinya datang ke Kalimantan Barat, berasal dari Divisi Lambung Mangkurat yang berkedudukan di Banjarmasin Kalimantan selatan. Mulanya datang ke Kalim
antan Barat dalam rangka pelaksanaan uacara penyerahan dan pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia.
Pasukan TNI yang merupakan suatu delegasi ini bertindak mewakili pemerintah dan rakyat Indonesia di Kalimantan Barat khususnya. Di samping itu, sekaligus mengambilalih masalah kemiliteran di daerah ini dari tangan NICA-Belanda yang sebelum ini dilaksanakan antara lain oleh KNIL. Kehendak untuk menghadirkan TNI di Kalimantan Barat bermuara dari Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB), di mana secara resmi mengutus SH Marpaung ke Jakarta untuk maksud tersebut. Delegasi TNI yang pertama ini seluruhnya berjumlah sepuluh orang. Masing-masing Letkol Sukanda Bratamenggala (Gubernur Militer Kalimantan), Mayor dr Soeharsono (Ketua Delegasi TNI ke Kalimantan Barat), Kapten Hanafi (Staf Gubmil TNI Kalimantan), Kapten CPM Peyoh (Wakil Ketua Delegasi), dengan anggota masing-masing Pelda CPM Mac Umbaran, Serma CPM Jimmy Soemarto, Sersan CPM Achmad Sjariful Effendi, Sersan CPM Gusti Harun Alrasjid, Sersan CPM Mohammad dachlan dan Kopral CPM Haji Selamat.
Del
egasi tiba di Pontianak menggunakan pesawat udara jenis Catalina pada hari Selasa tanggal 27 Desember 1949 sekitar pukul 11.00. setibanya di Pontianak, Gubernur Militer TNI Kalimantan Letkol Sukanda Bratamenggala beserta perwira lainnya langsung mengadakan pertemuan dengan pemerintah sipil dan militer Belanda. Kemudian did
apat persetujuan, upacara penyerahan dan pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia di Kalimantan Barat diselenggarakan di dua tempat, Pontianak dan Singkawang pada hari itu juga, pukul 16.00. selesai perundingan tersebut, Sukanda bersama Kapten Hanafi kembali ke Banjarmasin, sedangkan pelaksanaan upacara tersebut selanjutnya dikoordinir Mayor dr Soeharsono.
Kedatangan TNI mendapat sambutan yang sedemikian hangatnya dari segenap lapisan masyarakat Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak. Upacara penyerahan dan pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia di Pontianak berlangsung di halaman Kantor Residen Kalimantan Barat. Ikatan GAPI dan Angkatan Pemuda Indonesia (API) Cabang Pontianak yang dipimpin pemuda Ibrahim Saleh kemudian menyelenggarakan pelaksanaan upacara peresmian Markas TNI yang pertama di Kalimantan Barat, Minggu 1 Januari 1950 di bekas Gedung
PMC Pontianak. Dalam upacara itu dikomandani Mayor dr Soeharsono, tampil sejumlah enam orang pemudi an
ggota API Cabang Pontianak sebagai pengibar bendera merah putih, masing-masing Rafida, Hasanahm Zahara, Yul, Dachlia dan Soeprapti.

Seminggu kemudian, tanggal 9 Januari 1950, tiba di Pontianak Sultan Hamid II bersama Mr Critchly Wakil Negara Australia di PBB. Kedatangan Hamid ke Pontianak, yang kemudian ternyata telah menolak keberadaan TNI di daerah ini karena mengangap cukup dengan KNIL dan federale Troepen saja. Hal ini menimbulkan kekecewaan masyarakat, sehingga terjadi suatu demonstrasi bersa-besaran yang dihadiri ribuan massa rakyat pada Rabu 11
Januari 1950 di halaman Kantor Residen di Pontianak. Demonstrasi ini dipimpin SH Marpaung, AS Djampi, dan Zahrah Uray Aliuddin.

Adapun tuntutan rakyat Kalimantan Barat kepada Hamid II, intinya agar TNI tetap berada di Kalimantan Barat, agar Dewan DIKB dan DIKB-nya segera dibubarkan atau membubarkan diri serta mengukuhkan Kalimantan Barat tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, menuntut supaya dr M Soedarso yang terpilih sebagai Kepala Daerah Kalimantan Barat segera dilantik. Rapat umum besar-besaran itu berlanjut Kamis, 12 Januari 1950 di Padang Sayok. Pada hari ini pula Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan rombong
an lainnya
tiba di Pontianak.

Memenuhi tuntutan hati nurani rakyat Kalimantan Barat, yang antara lain agar TNI tetap berada di daerah ini, dalam perkembangan selanjutnya tanggal 16 Januari 1950, tiba di Pontianak sejumlah 200 orang pasukan TNI menggunakan Kapal Laut KM Kaimana dari Divisi Lambung Mangkurat dipimpin Mayor TNI Firmansjah, Kapten M Yusi, Lettu JS Themma, elda M Noor Is dan lainnya. Sementara itu, KNKB semakin gencar memobilisasi massa rakyat Kalimantan Barat, terlebih dengan ditangkapnya sejumlah tokoh utama KNKB antara lain SH Marpaung Ketua Persatuan Buruh Indonesia (PBI), M Nazir Effendy, Munzirin AS, AS Djampi, Burhan Ibrahim, Gusti Mohammad Affandi Ranie.

Sebagai protes keras terhadap penangkapan tersebut, sejak tangal 6 Maret 1950 dimulailah pemogokan secara massa se
kalima
ntan Barat. Khususnya di Pontianak, tak ubah seperti kota mati, seluruh aktifitas sosial ekonomi rakyat dihentikan. Menggerakkan dan menginstruksikan pemogokan ini di luar Pontianak, pemuda Ibrahim Saleh dan Buyung Raja Habibana, keduanya melalui jasa telepon mengadakan hubungan ke berbagai daerah. Di Landak Ngabang, merupakan basis kedua pemogokan missal yang dimotori Gusti Basman dan M Maris Budjang. Untuk menyele
saikan masalah ini serta pertentangan antara KNKB dan Dewan DIKB, di Pontianak didatangkan Komisaris Umum Pemerintah RIS Mr Indra Kusuma dan M Soeprapto sebagai mediator. Kelak akhirnya pemogokan umum dihentikan sjak tanggal 18 Maret 1950.

Kemudian d
ibentuk Bad
an Pertimbangan Kalimantan Barat selama periode transisi. Dengan terbentuknya Badan Pertimbangan Kalimantan Barat (BPKB), selanjutnya KNKB mengeluarkan perintah penghentian pemogokan umum yang dimulai sejak 6 Maret 1950 sampai 1950. Sebulan setelah kedatangan delegasi pertama TNI ke Kalimantan Barat, rapat GAPI di Gedung PBI pada 4 Pebruari 1950, membicarakan masalah pembubaran GAPI. Hal itu dengan ala¬san, bahwa dianggap tugas GAPI telah selesai. Sejak hari itu, masing¬masing anggota pengurus dan anggota GAPI menempuh jalan sendiri¬-sendiri untuk memenuhi aspirasi politik masing-masing mereka. Sebagian mengambil prakarsa membentuk cabang-cabang partai, seperti Masyumi, PNI, PSI dan lain-lainnya.

Kurun waktu
kehadiran GAPI (1947) tidak jauh disusul dengan berdirinya sebuah organisasi yang nyaris senada derap pergera¬kannya. Pada 15 Juni 1947, beberapa pekan setelah resmi berdirinya GAPI Pontianak, dilangsungkan rapat pembentukan "Partai Rakyat Indonesia" yang belakangan disingkat dengan PRI. Rapat pembentu¬kan PRI berlangsung di Gedung Bioskop Exellent Hall Pontianak. Lanjutan rapat pembentukan PRI pada 21 Juni bertempat di Gedung "Antara". Dalam rapat lanjutan ini, disusun sebuah.panitia kecil yang terdiri dari Muzani A Rani selaku ketua, dengan beberapa anggota, seperti M Yanis, Nong Buchari dan M Zahri. Rapat panitia kecil untuk membahas konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PRI.

Pada 6
Juli 1947, melalui rapatnya di "Gedung Sukma" Pontianak, PRI menetapkan Anggaran Dasar dan Anggara
n Rumah Tangga, serta membentuk Pengurus Besar PRI dengan diketuai Muzani A Rani didampingi ketua muda R Soewa.rno. Selain itu duduk pula Nong Buchari dan M Yanis, masing-masing sebagai Penulis I dan II. Bendahara dilimpahkan kepada M Zahri, dilengkapi dengan beberapa pembantu di antaranya H Abdurrachman, J Lumenta, Rassuwani dan M Nazir Erfendy. Aktifitas yang ditempuh PRI selanjutnya adalah penyebarluasan semangat kemerdekaan. PRI pada 7 September 1947 mengirim anggotanya masing-masing Muzani A Rani, M Yanis dan M Zahri memasuki kampung-kampung di daerah Sungai Raya, antara lain Kampung Kamboja, Bansir, dan Bangka.

Dalam perjalana
n waktu hampir setahun, pada 22 Februari 1948, rapat PRI menetapkan sikap "Non-Kooperasi" terhadap Dewan Kalimantan Barat. Dalam rapat, juga memilih dan menetapkan sebuah susunan kepengurusan yang baru. Dalam kepengurusan ini, diketuai AS Djampi, ketua muda M Nazir Effendy. Selain itu duduk pula Penulis I dan II masing-masing Umar Achmad dan Burhan. Dua or¬ang bendahara dilimpahkan kepada Muhammad A Rahman dan Hasan. Dilengkapi dengan tiga orang pembantu. masing-masing A Hamid Manan, Umar Hamzah
dan Soetrisno.

Dalam suasana semakin aktifnya GAPI dan PRI melaksanakan program perjuangan yang digariskan oleh masing-masi
ng organisasi ini, pada 22 Oktober 1949, berlangsug konferensi buruh Se Kali¬mantan Barat. Konferensi dipusatkan di Gedung PBI dengan diketuai SH Marpaung. Hadir dalam konferensi ini antara lain Drs J Nadort (Sekretaris Dewan DIKB), Mr Hakker (Kepala Inspeksi Pajak) dan JC.Oevaang Oeray dari Badan Pemerintah Harian DIKB.

Perkembangan waktu terus berjalan diiringi berbagai hal-hal yang menyertainya. Pada 5 Januari 1950, berlangsung rapat Komite Nasional Kalimantan Barat di Gedung PBI. Rapat memutuskan untuk mencalonkan Dr M Soedarso sebagai Kepala Daerah, berhubung dengan diangkatnya Sultan Hamid II sebagai Menteri dalam Kabinet RI
S. Dalam rapat juga diputuskan penyampaian protes kepada Pemerintah DIKB terhadap penangkapan sejumlah pemuka masyarakat di Ngabang pada 26 Desember 1949.
Sepekan kemudian, berlangsung sidang pertama Dewan DIKB. Demonstrasi berlangsung terhadap Dewan oleh massa rakyat di bawah pimpinan SH Marpaung dan Uray Bawadi yang menuntut pembubaran Dewan dan pengangkatan Dr. M. Soedarso sebagai Kepala Daerah. Keesokan harinya, Perdana Menteri RIS, Drs Mohammad Hatta bersama rombongan tiba dari Jakarta. Sorenya, 12 Januari dilangsungkan sebuah rapat umum di lapang
an. Kebun Sayur dengan amanat yang disampaikan Anak Agung Gde Agung, atas nama Perdana Menteri RIS. Pada 16 Januari 1950, tiba di Pontianak dengan Kapal "Kaimana", sekitar 200 orang prajurit dan perwira serta bintara TNI,di bawah pimpinan Mayor Firmasyah. Pada 22 Januari berlangsung rapat umum di lapangan Kebun Sayur menyambut kedatangan TNI.
Mengingat kondisi semakin tidak menentu yang dalam kondisi demikian, Belanda berada di belakang layar, dijawab rakyat dengan memberikan suatu sikap terbuka. Selama sepekan sejak 6 Maret, berlangsung pemogoka
n umum besar-besaran se Kalimantan Barat. Pemogokan umum dilancarkan sebagai suatu protes berhubung dengan dibubarkannya rapat raksasa yang digerakkan Komite Nasional Kalimantan Barat sehari sebelumnya, 6 Maret 1950.
Pemogokan umum terus berjalan hingga 12 Maret, sekalipun pimpinan-pimpinan yang menggerakkan mogok umum ini ditangkapi dan dipenjarakan, masing-¬masing SH Marpaung, M Nazir Effendy, Munzirin AS, Burhan Ibrahim, Gusti Muhammad Affandy Ranie, AS Djampi dan beberapa lagi lainnya. Untuk menyelesaikan masalah pemogokan umum yang terus berlanjut tersebut, pada 12 Maret 1950, tiba dari Jakarta Komisaris Umum Pemerintah RIS, Mr Indra Kesuma dan R Soeparto. Kedatangan kedua utusan tersebut untuk menyelesaikan masalah pemogokan yang sudah berjalan selama sepekan itu serta huhungan Komite Nasional Kalimantan Barat dengan
pemerintah DIKB.

Perundingan antara KNKB dengan Komisaris RIS untuk memecahkan masalah di Kalimantan Barat terus dilakukan, sementara itu pemogokan umum terus berjalan. Dengan Komisaris RIS sebagai penengah, pada 18 Maret 1950
, dicapai persetujuan antara KNKB dengan Dewan DIKB tentang pengakhiran pemogokan. Selanjutnya dibentuk Badan Pertimbangan untuk suatu priode transisi. Komite Nasional Kalimantan Barat, KNKB, pada hari itu mengeluarkan sebuah pernyataan untuk mengakhiri aksi pemogokan umum di Kalimantan Barat.