biar seratus bunga mekar bersama dan biar saratus aliran berlomba, hidup berdampingan jangka panjang dan saling mengawasi jangan sampai generasi muda arogan dan melupakan sejarah

Jumat, 28 Januari 2011

Biografi Sejarah Pangeran Natakusuma

PERJUANGAN RAKYAT LANDAK ANTARKAN KEMERDEKAAN

Oleh: Syafaruddin Usman MHD

BERMULA DARI POLITIEK CONTARCT KOLONIAL
DALAM 1911, seperti juga di kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kolonial Belanda yang merasa sudah kuat posisi dan kedudukannya, berusaha keras untuk mengendalikan politik pemerintahan otonom lokal feodal lokal di Kalimantan Barat. Untuk itu pemerintah Belanda menyodorkan berbegai naskah perjanjian yang harus ditandatangani. Naskah-naskah ini dikenal luas dengan sebutan Korte Verklaring atau Pelakat Pendek. Dalam naskah perjanjian tersebut, antara lain, dinyatakan agar kepada rakyat ditarik pajak.. Hal ini tentu saja sangat memberatkan rakyat, sebab sebelumnya itu tidak pernah ada.

Dari kontrak pertama antara Kerajaan Landak dengan kolonial Belanda (1845) sampai Politiek Contract (1909) dan 1911, kesemuanya secara berangsur mempersempit ruang gerak dan kekuasaan feodal dan otonom Landak. Dalam isiannya, politiek contrack yang di dan terpaksa lakukan itu intinya adalah” “…administrasi Kerajaan Landak dipegang (kendalikan) oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dikuasakan kepada seorang pejabat selaku gezaghebber atau controleur. Jabatan menteri dalam Kerajaan Landak dihapuskan, pembekal (seorang pimpinan adat) diubah menjadi kepala onderdistrik atau juga kepala distrik. Sedangkan kedudukan raja atau panembahan hanya berfungsi, tak lebih dan tak kurang dari, sebagai pengawas”.

Selain itu, “apanage” dihapuskan, diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang oleh rakyat. Di samping ini, rakyat Landak juga dikenakan suatu keharusan melakukan kerja rodi (heeredienst) selama 20 hari dalam setahun. Sementara, pajak sebesar 10 persen dikenakan untuk hasil hutan. Selain itu juga dikenakan cukai bagi penambangan emas dan pendulangan (pelimbangan menurut tradisi lokal Landak) intan dan berlian.

Adapun Perjanjian Adat 12 (Dua Belas) Perkara yang dibuat antara para peletak dasar berdirinya Kerajaan Landak (modern) Raden Abdul Kahar dan saudara seibunya (Dara Hitam atau Dara Itam) Ria Kanu (Aria Kanuhanjaya) dipasukan oleh Belanda. Sedangkan hukum adat mulai disingkirkan dan dibentuk suatu lembaga pengadilan Belanda yang disebut landraad van justitie.

Seperti juga kerajaan lain di Kalimantan (Borneo) Barat khususnya, Kerajaan Landak diperintah seorang panembahan atau raja. Dibantu oleh beberapa petinggi feodal atau kalangan pangeran (Rijksgrooten) dari keluarga panembahan (Bloed verwanten van den vorst). Mereka, kalangan ini, bergelar menteri kerajaan. Apabila jabatan panembahan atau raja mengalami kekosongan, misal disebabkan raja mangkat sedangkan putera mahkota atau calon pengganti yang bergelar Pangeran Ratu masih belum mencukupi usianya untuk dinaik-tahtakan, maka ditunjuk wakilraja sebagai ackting atau pelaksana harian raja yang bergelar Pangeran Mangku atau Pangeran Mangkubumi.

Hubungan Kerajaan Landak dengan kolonial Belanda, secara administratif, dapat ditelusuri bermula sejak berdirinya Kesultanan Pontianak 1771. hadirnya kerajaan terakhir di Borneo Barat itu, semua aktifitas perniagaan dari Landak dan Kapuas yang semula terpusat di Sukadana dan Mempawah, belakangan difokuskan di Pontianak. Pajak ekspor dan impor perniagaan dari, antaranya Landak, dipungut oleh Pontianak. Landak dengan sendirinya menempati posisi sebagai negeri vazal dari Kesultanan Banten, tentu sangat keberatan atas tindak pemaksaan untuk masalah pajak tersebut. Maka Landak yang merasa dinaungi Banten melaporkan kondisi terakhir ini kepada penguasa Banten. Banten sampai pada masa ini terus menerus dilanda krisis intern. Karenanya, atas laporan Landak, kesultanan ini tak bisa berbuat lebih untuk Landak yang merupakan negeri sekutunya.

Pada keadaan kritis demikian, kolonial Belanda yang pernah terlibat membantu aktif Banten dalam dukungannya pada perang saudara Landak—Sukadana (1698), mendekati Banten meminta agar daerah dan kekuasaan Landak dialihkan kepada Belanda. Maka tak lama kemudian, 26 Maret 1778 sekitar tujuh tahun sejak eksisnya Kesultanan Pontianak, di benteng Diamant Banten, Sultan Abulmafakhir Muhammad Aliuddin melakukan serahterima Landak (dan Sukadana) kepada kolonial Belanda, dalam hal ini VOC.

Pasca penyerahan Landak kepada Belanda oleh Banten, Gubernur Jenderal Belanda (VOC) di Batavia (1778) mengutus Nicolas de Kloek untuk memantau keadaan Pontianak dengan ekspedisinya. Kloek belakangan ditarik dari posisinya sebelum mengakhiri tugas yang diembannya untuk memantau kondisi lapangan di Pontianak, Landak dan Sukadana pasca penyerahan dari penguasanya.

Itu semua tak lepas dari peran Abdurrahman, pendiri dan sultan pertama Pontianak, yang secara khusus mengirim putranya Kasim ke Batavia menemui Gubernur Jenderal di sana. Maka 6 Nopember 1778, Abdurrahman diakui oleh Hooge Regering (Pemerintah Tertinggi Belanda) sebagai Sultan Pontianak dan Sesango (Sanggau) bergelar Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.

Nicolas de Kloek belakangan diganti Residen Willem Adrian Palm dengan jabatan Komisaris. Ia bertindak atas nama Reiner de Klerk Gouverneur General (GG) van Nederlandsch Oost Indische Compagnie dan Raaden van Indie, yang mengukuhkan pemerintah dan kekuasaan Pontianak dan Sanggau. Maka dalam padanya, investiture yang berisi 18 pasal disodorkan kepada Abdurrahman. Dinyatakan di dalamnya bahwa Abdurrahman (Pontianak) dipinjami tanahnya sendiri secara kekal abadi (erfelijk leen) dari Belanda guna melengkapi beridirnya Pontianak.

Suatu kejanggalan memang. Pemilik meminjam hak miliknya sendiri kepada bangsa asing. Landak dalam posisi ini dirugikan. Mengingat daerah kekuasaannya ikut berkurang, di mana sebagian tanah wilayah kekuasaannya diambil-alih Pontianak untuk kemudian dimiliki VOC dan belakangan dipinjamkan oleh VOC kepada Pontianak sebagai pemberi semula. Dengan berdirinya Pontianak, luas wilayah Kerajaan Landak berkurang, sehingga tersisa 8910 Km2, sedang Pontianak menjadi 4545 Km2. bukan tidak ada sengketa antara Landak dengan Pontianak terhadap hal itu. Kembali Landak meminta Banten turun tangan menengahi, namun Banten lepas tangan tak berdaya atas itu semua.

Sejak intervensi Belanda terhadap otonomnya, Landak mulai terlibat permufakatan dengan Gouvernement van Nederlandsh Indie pada 31 Mei 1845, di masa pemerintahan raja Landak Panembahan Gusti Mahmud Aqamaddin (1844—1847). Belakangan, inilah permufakatan pertama Landak dengan Belanda, berlanjut pada 7 dan 17 Juli 1859 di saat pemerintahan Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin (Panembahan Amar, 1847—1874), ditandai Lange Contrack (kontrak panjang). Mulai saat itu di ibukota Kerajaan Landak di Ngabang, Belanda menempatkanpegawai bangsa Eropa selaku Euroopeesch Bestuursambtenaar.

Belakangan, di masa Wakil Panembahan Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin (1901—1922) ditandatangani lagi Politiek Contract 8 Oktober 1909, kemudian Korte Verklaring 19 Mei 1922. dan disertai dua perjanjian ini pula, pengukuhan Pangeran ratu sebagai Raja atau Panembahan Landak Gusti Abdul Hamid Azis dilakukan 4 Nopember 1922. panembahan Hamid sebagai raja menerima kenyataan kekuasaan otonom lokal di bawah kendalinya dalam keadaan serba sempit. Kekuasaan yang dibatasi dan wilayah kekuasaan yang diawasi. Maka jelas, sejak kontrak pertama hingga politiek contract terakhir tadi semua itu secara berangsur, namun pasti, mempersempit ruang gerak dan kekuasaan feodal otonom lokal Landak.

Terhadap tindak-tanduk kolonial Belanda, elit Landak tak berdiam diri. Dengan cara terbatas, mereka bangkit berontak. Meski upaya itu dengan mudah diatasi Belanda. Bahkan, sebatas rencana perlawanan rakyat Landak pun sudah diantisipasi penguasa Belanda, sehingga tak memungkinkan tindakan perlawanan lebih dalam skala besar untuk ukuran pada zaman itu. Namun begitu, Ratu Adi Achmad Kesuma, putra dari Pangeran Mangkubumi Gusti Ismail Raja Haji Isya, menyalakan kobar api perlawanan rakyat Landak yang sangat melegenda. Sekalipun dipadamkan dengan mudah oleh Belanda, akan tetapi benih pemberontakan rakyat Landak menentang dominasi kolonial Belanda mulai menebar untuk kemudian tumbuh subur seiring dengan konteks zamannya.

Seakan meneruskan perlawanan Ratu Adi Achmad Kesuma, yang dikenal luas dengan sebutan Pemberontakan Ratu Adi, dalam 1890 muncul pergolakan bersenjata dipimpin Wakil Panembahan Landak (1875—1890) Haji Gusti Kandut Muhammad Tabri Pangeran Mangkubumi Wira Natakusuma. Perlawanan berwaktu pendek itu, sebagaimana juga perlawanan Ratu Adi terhadap kolonial Belanda berpangkal pada politiek contrack, dengan mudah dipatahkan Belanda. Dan Gusti Kandut belakangan diinternir ke Cianjur hingga wafat di sana (1890).

Maka jelas, sejak pemberontakan Ratu Adi hingga pergolakan Gusti Kandut Pangeran Wira Nata (1890), kesemua perlawanan rakyat Landak, di mana di dalam konteks ini Landak dipandang sebagai perlawanan Melayu—Dayak di satu pihak terhadap Belanda di pihak lain, disebabkan oleh sejumlah hal. Keseluruhannya adalah lantaran:

1. Administrasi Kerajaan Landak diambilalih (kemudian dipegang langsung) oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dikuasakan kepada gezaghebber atau controleur. Dalam padanya sistem pemerintahan feodal otonom lokal Landak sendiri yang memang sudah diwarisi terhapuskan, atau setidaknya diminimalisir oleh kekuasaan Belanda. Antaranya, kedudukan panembahan atau raja tak lebih sebagai pengawas atau mandor, termasuk bersama pejabat Landak di bawah dan jajarannya diberikan tunjangan dari landschap.
2. Apanage dihapuskan diganti dengan blasting yang harus dibayar dalam bentuk mata uang dan disetorkan pada kas lanschap. Di samping itu rakyat diwajibkan melakukan kerja rodi (heeredienst) selama 20 hari dalam setahun. Pajak 10 persen dikenakan untuk hasil hutan, juga 10 persen untuk cukai penambangan emas dan intan atau non-migas.
3. Perjanjian 12 Perkara Adat dihapuskan. Hukum adat perlahan namun diwujud-nyatakan diganti dengan kekuasaan Landraad atau Pangadilan Negeri. Akibatnya, ikatan adat, baik Melayu maupun Dayak, berada di bawah pengawasan kolonial Belanda.

4. Kolonial Belanda selalu menyodorkan kontrak-kontraknya yang sifatnya, jelas, sangat merugikan satu pihak (dalam hal ini Kerajaan Landak). Secara politis, penguasa otonom lokal Landak tersudutkan dengan penandatanganan Lange Contract (Kontrak Panjang) sejak 1859 hingga Nieuw Lange Contract (Kontrak Panjang yang Diperbaharui) 5 Juli 1883.

5. Perjanjian Perbatasan Landak dengan Pontianak 18 Agustus 1886, nyata merugikan Landak, di satu sisi lain terjadi pengurasan luas wilayah dan hasil bumi di wilayahnya oleh kekuasaan otonom lokal lainnya (Pontianak) bersama kolonial Belanda di belakangnya.

PENERAPAN BELASTING DAN HEEREDIENST
SEJAK DITANDATANGANI Kontrak Panjang 17 Juli 1859, apanage dan sejumlah pajak lain, seperti emas dan intan serta hasil bumi non-migas Landak, diserahkan kepada pemerintah Belanda. Sementara, Landak merupakan pasaran komoditi dan produksi hasil bumi yang melimpah, rakyat Landak sendiri tak cukup menikmati hasil bumi mereka. Bahkan, penguasa feodal otonom lokal Landak tak lebih sebagai pemerhati dari perampasan hak-hak yang dimiliki rakyat oleh kolonial Belanda. Keengganan sebagian besar feodal birokrat Landak menentang sikap dan tindakan Belanda ini tak lebih karena posisi mereka di birokrasi pemerintahan Landak sendiri.
Dalam suasana dualistis itu, di satu sisi penekanan oleh pihak Belanda dan di sisi lain birokrat Landak mulai berhitung dengan pertimbangan kedudukan mereka, Wakil Panembahan Kerajaan Landak Gusti Kandut bersikap lain. Ia memelopori suatu perlawanan, meski hanya didukung sebagian kecil birokrat di jajaran pemerintahannya. Satu pertimbangan lain kalangan birokrat tak melebur diri bersama tindak perlawanan Gusti Kandut, di mana benih dukungan terhadap posisi raja yang diemban Gusti Kandut, mulai dipersoalkan. Kalangan tersebut berupaya memanfaatkan kondisi yang diperankan Gusti Kandut untuk merebut posisi wakil raja ini.

Haji Gusti Kandut Muhammad Tabri yang bergelar Pangeran Wira Natakusuma adalah Wakil Panembahan atau Pangeran Mangkubumi Kerajaan Landak kurun 1875—1890. Ia memerintah sejak mangkatnya raja Landak terdahulu, Panembahan Gusti Abdul Majid (1872—1875). Saat panembahan Majid wafat dalam usia muda, ia meninggalkan putra mahkota calon pengganti kemudian nanti masih dalam usia kanak-kanak. Di antara putra-putra Panembahan Majid, antaranya Pangeran Ratu (gelar yang diberikan kemudian oleh Wali Kerajaan) Gusti Abdul Azis dan Gusti Abdurrani yang belakangan bergelar Pangeran Nata Kusuma.

Mengingat itu pula, diasingkannya Pangeran Wira Natakusuma ke Cianjur 1890, maka tahta empuk kerajaan pun dialihkan kepada pemangku jabatan Gusti Ahmad. Selama enam tahun (1890—1896) Gusti Ahmad selaku Pangeran Mangkubumi, dalam 1896 ia kemudian mundur dari jabatannya dan melepaskan kedudukan itu kepada pewaris jabatan ini Pangeran Ratu Gusti Abdul Azis Majid. Sejak menduduki tahta, Panembahan Azis bergelar Panembahan Gusti Abdul Azis Aqamaddin Surya Kusuma. Dalam memerintah, dengan masa kekuasaan yang sangat pendek tak lebih dari tiga tahun, hingga wafat 1896, Panembahan Azis didampingi antara lain saudaranya Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma.

Panembahan Azis wafat dalam usia belia 1896. Saat mangkat setelah sekitar tiga tahun memerintah Kerajaan Landak, ia meninggalkan putra mahkota yang belakangan diberi gelar Pangeran Ratu, masih dalam kandungan Ratu Permaisuri Utin Derma. Mangkatnya Panembahan Azis, sementara pewaris kerajaan (yang kala ketika itu belum dapat dipastikan apakah bayi dalam kandungan ratu permaisuri adalah seorang putra), mengharuskan kalangan birokrasi kerajaan, dengan tak lepas dari campur tangan Belanda, untuk menentukan pengisi tahta kerajaan yang lowong.

Mengisi kekosongan tahta Kerajaan Landak, kolonial Belanda yang sejak diadakannya Korte Verklaring, campur tangan. Mengatur administrasi pemerintahan Kerajaan Landak, dan dengan sendirinya, telah melampaui batas kewenangan di mana dalam menentukan siapa yang berhak menduduki tahta selanjutnya, Belanda andil besar.

Maka, lagi-lagi dengan bimbingan kolonial Belanda, sebagai pengisi tahta yang ditinggal wafat Panembahan Azis diangkatlah Wakil Panembahan Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin yang kemudian menduduki jabatan ini tak kurang dari 23 tahun, 1899—1922. Gusti Budjang adalah putra Pangeran Mangkubumi Gusti Doha, wakil raja Landak terdahulu (1874—1880).

Pihak Belanda, secara halus dan mulanya tak kentara, jelas sangat berkepentingan atas pergantian kekuasaan di Landak. Adanya benih persengketaan kepentingan birokrasi internal di lingkungan feodal otonom lokal Landak yang terpercik sejak pemerintahan Gusti Kandut, dipelihara dengan rapi oleh kolonial Belanda. Oleh sebab itu, politik devide et impera pun diterapkan dalam suasana menempatkan calon pengganti Panembahan Azis yang wafat ini.

Belakangan, timbul dua faksi di lingkungan Kerajaan Landak. Semula faksi ini hanya sebatas wacana internal, namun dipicu kepentingan dan keterlibatan Belanda di salah satu faksi, akhirnya dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Landak dikenal twee takken. Masing-masing Oeloe Tak yang disebut-sebut dengan figur berpengaruhnya Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma dan Wadana Jaya Kusuma Ya’ Bujang serta Ilir Tak dengan figur sentralnya Pangeran Mangkubumi Gusti Budjang Isman Tadjuddin.

Sejak menduduki jabatan Pangeran Mangkubumi (1899), Gusti Budjang pun tak luput dari keharusan menandatangani Politiek Contrack yang dilakukan dalam 1901 dan kemudian 8 Oktober 1909. Semakin nyata, otonom lokal Landak semakin sempit dan tata pemerintahannya semakin terjepit. Dengan begitu, dukungan atas kebijakan yang ditempuh penguasa kerajaan menyebabkan rakyat Landak mengalami keterbelahan.

Di satu sisi mengemuka keinginan menolak kepemimpinan Gusti Budjang, di sisi lain timbul tudingan Gusti Abdurrani memanfaatkan kesempatan untuk menyisihkan pemegang kekuasaan. Timbulnya dualisme ini tak pelak lantaran pemicu persoalan ini, kolonial Belanda, memainkan peranan yang cukup strategis. Sementara itu, terbelahnya dua sikap di lingkungan istana Kerajaan Landak terus mengemuka, rakyat Landak memikul beban berat. Di samping rakyat Melayu—Dayak melakukan kerja paksa (rodi atau heeredients), juga dicekik keharusan membayar pajak yang sangat sukar dipenuhi.
Dengan demikian, kehidupan rakyat Landak yang sudah cukup lama tertekan, semakin menemui kesukarannya. Akibatnya nyata, penderitaan rakyat Landak kian terasa dan kentara.

Adanya tudingan Belanda terhadap sinyalir ada dua tak (Oeloe Tak dan Ilir Tak, atau kelompok hulu dan kelompok hilir) di lingkungan Kerajaan Landak, lantaran mencuat ke permukaan penentangan yang dinampakkan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma. Sebagai menteri kerajaan Landak yang mengatur masalah keamanan dengan diberikan kewenangan untuk membantu pemerintahan di wilayah Menyuke dan sekitarnya, ia mempersoalkan apa yang ditekankan terhadap rakyat.

Dan lebih ke dalam, ia memprotes sikap tidak tegas penguasa kerajaan yang tak ada sikap menolak apa yang dimaukan pihak Belanda. Gusti Abdurrani intinya menuntut eksistensi kekuasaan kerajaan tetap ditegakkan, bahkan ia menghimbau agar tindakan yang ditempuh pendahulu, antaranya Gusti Kandut, untuk diteruskan. Sikap anti-pati ini dimanfaatkan kalangan penguasa yang sedikit-banyak merasa khawatir akan terseret dalam upaya menolak kekuasaan Belanda. Dalam pemikiran yang ada, apabila mengikuti inisiatif Gusti Abdurrani, memungkinkan pihak Belanda akan melakukan perubahan besar-besaran struktur kekuasaan kerajaan yang ada. Maka, jika itu terjadi, penguasa dan jajarannya akan terpinggirkan dan digantikan oleh penguasa yang baru.

Atas pandangan sikap terakhir, kecurigaan semakin menebal, di mana Gusti Abdurrani sendiri adalah saudara kandung dari panembahan terdahulu, Gusti Azis, yang memang memungkinkan mewarisi pula jabatan dan kedudukan dari orangtuanya. Atau dalam pengertian lain, ia berhak menjadi pemangku jabatan atau wali jabatan dari keponakannya yang masih dalam kandungan Ratu Permaisuri Utin Derma, putra mahkota yang ditinggal mangkat Panambahan Azis.

Atas dasar kecurigaan itu pula, pihak pejabat kerajaan semakin merapat dengan penguasa Belanda. Maka, di kalangan luas rakyat Landak, adanya Oeloe Tak dan Ilir Tak sudah bukan sebatas wacana. Namun, manjadi semacam realita yang ada di hadapan mata. Belanda mengisukan, dukungan yang diberikan kepada Ilir Tak lantaran di Oeloe Tak tidak ditemukan adanya figur yang cakap untuk menjalankan administrasi pemerintahan Kerajaan Landak. Ini sebagaimana diterangkan Gezehebber Landak, Later, dalam memorinya De reden dat Goesti Boedjang tot de regering werd groepen was hiering gelegen dat in Oeloe Tak geen geschikte regent, figur te vinden was.

PERTENTANGAN INTERNAL ELIT
DALAM 1912 mulai diberlakukannya pembayaran pajak dengan sistem belasting, uang yang dipungut langsung dan diserahkan ke kas landschap. Dengan perubahan sistem pembayaran pajak ini, dari apanage ke sistem belasting, dengan sendirinya panembahan serta kalangan birokrat feodal lokal Landak mendapat gaji dari landscap atau pemerintah Belanda.

Dalam padanya, kehidupan perekonomian rakyat Landak kian terjepit. Terlebih diberlakukannya kontrak-kontrak yang dipaksakan, sehingga semakin memperkecil dan mempersempit ruang gerak hak dan kekuasaan birokrat Landak. Dipicu itu, kalangan birokrat feodal lokal Landak mengalami perpecahan yang kian meruncing. Dan semakin kentara sejak dihapuskannya sistem apanage dan diberlakukanya sistem pajak belasting disertai rodi 20 hari dalam setahun. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma sendiri selaku menteri Kerajaan Landak yang notabene sebagai apanage houders praktis tidak mempunyai kuasa lebih dari sekadar simbol belaka untuk jabatan itu.

Di wilayah kerja-tugasnya, Menyuke khususnya, Gusti Abdurrani dikenal sangat berpengaruh. Bukan saja sebagai menteri kerajaan jabatan yang disandang olehnya, tetapi juga kedekatan dengan rakyat di sana. Mayoritas masyarakat Dayak dalam wilayah kerja Natakusuma sangat fanatik dengan kebijakan yang ditempuh sang menteri kerajaan ini. Apalagi, di lapangan Ya’ Bujang Wedana Jaya Kusuma merupakan tangan kanan Natakusuma yang leluasa bergerak memberikan pengertian ke depan di kalangan rakyat luas tentang sistem belasting yang diberlakukan ini bila tidak ditengarai berbagai kalangan akan memberikan ekses tersendiri. Ekses itu terutama pada faktor perekonomian rakyat tradisional khususnya.

Pengaruh kuat itu pula yang melibatkan dukungan yang segera diberikan sejumlah pemuka adat dan pemimpin tradisional lokal di kalangan masyarakat Dayak, terutama dari sejumlah panglima adat yang berpengaruh, antaranya Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui. Itu semua selanjutnya diwujudkan dalam suatu bentuk mengkristalnya kebulatan tekad untuk meletuskan sebuah pemberontakan bersenjata. Dan ikatan emosional di kalangan pemimpin lokal dengan rakyatnya ini diperkuat suatu jalinan dikukuhkannya kembali sistem Perjanjian 12 Perkara Adat oleh Pangeran Natakusuma, di mana oleh Belanda, salah satunya masalah ini telah dihapuskan.

Dihapuskannya sistem ini, salah satu dari beberapa hal penting lainnya yang didelete kolonial Belanda, dikarenakan kecurigaan di dalam sistem itu sangat potensial jalinan kuat antara Dayak dan Melayu dalam suatu ikatan emosional bersama yang utuh dan menyeluruh. Hal disebutkan terakhir, dalam pandangan penguasa landschap Belanda sangat membahayakan jalanannya kekuasaan yang diterapkan. Namun di sisi lain, kalangan birokrat feodal lokal Landak sendiri, memainkan suatu peranan dalam kedekatannya dengan kalangan landschap Belanda, di mana isu yang dihembuskan, dalih mempertahankan perjanjian adat 12 perkara itu bukan semata masalah kepentingan sosial ekonomi, namun menurut pengaduan kalangan tersebut, tak kurang sebagai upaya menyusun suatu rencana strategi dalam rivalitas kekuasaan di lingkungan Kerajaan Landak itu sendiri.

Dalih terakhir ini sebetulnya oleh Belanda tidak begitu berpengaruh, apalagi dibanding kekuatan yang dimiliki dalam kekuasaannya. Namun, dalih itu menjadi sangat diperhatikan, bahkan dijadikan manajemen konflik, karena adanya kepentingan khusus. Belanda sebagai suatu rahasia umum berkepentingan menjalin hubungan baik dengan kalangan birokrat penguasa otonom lokal Landak, oleh sebab itu, sinyalir perpecahan di kalangan ini dikelola semaksimal mungkin. Sehingga dalam pandangan Belanda, sesungguhnya kedua faksi yang menjadi rivalitas di Landak ini sama-sama dikuasai dengan cara penguasaan yang berbeda.

Hal dimaksudkan terakhir, Belanda memandang Oeloe Tak bahkan dianggap sebagai musuh berbuyutan, sedangkan Ilir Tak sebagai mitra kerja dalam penyelenggaraan tata pemerintahan. Maka dengan begitu, wacana Oeloe Tak dan Ilir Tak mengalami suatu perubahan menjadi kenyataan. Apalagi, dari pendekatan khusus Belanda, mengantarkan kalangan Ilir Tak pada kesimpulannya untuk bersekutu dengan Belanda dalam rangka stabilitas pemerintahan Kerajaan Landak dan dinamitas penguasaan Belanda. Namun sebetulnya, di sisi menyimpang dari perselingkuhan Ilir Tak dan landschap Belanda itu tak lebih sebagai upaya, dengan menolak konsep Oeloe Tak, untuk melanggengkan kekuasaan yang dipegang dalam mengelola pemerintahan otonom lokal Landak itu sendiri.

Dukungan masyarakat luas Menyuke melalui para elitnya, dalam hal ini sejumlah panglima adatnya, diwujudkan dengan diedarkannya isyarat pergolakan rakyat secara utuh dan menyeluruh yang dinamakan damak. Damak, dalam konteks ini adalah semacam tongkat komando atau instruksi wajib dipandang dari sudut adat-istiadat lokal masyarakat, sama halnya dengan isyarata adat mangkuk merah. Isyarat ini merupakan ikatan atau jalinan emosional masyarakat luas dalam wilayah penyebarannya untuk mendukung suatu upaya atau gerakan yang diinstruksikan pemimpin atau para panglima adat untuk suatu hal tertentu. Dan dalam waktu relatif singkat, peredaran damak sudah meliputi seluruh wilayah kerja menteri kerajaan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma.

Beredarnya damak yang kemudian menjadi isyarat peperangan ini, selain memperoleh sambutan luas, juga menjadi ikatan emosional masyarakat majemuk Dayak dan Melayu yang dalam bagian tertentu dikatakan sebagai sebuah faksi bagi Oeloe Tak. Pada mereka, isyarat itu sebagai komando peperangan. Dan dalam pengertian mereka pula isyarat damak tak kurang sebagai sebuah perlawanan untuk pertumpahan darah. Maka di kalangan Oeloe Tak suatu keyakinan mendalam, pertumpuhan darah di daerah Landak oleh Dayak dan Melayu adalah satu darah: merah dan satu jiwa: putih. Konteks ini melihatkan jiwa semangat dan nilai kehidupan yang mereka emban diterjemahkan sebagai merah putih darah dan jiwa yang menyala di dalam diri masing-masing mereka.

Menjelang beredarluasnya damak, sebetulnya suatu upaya meredam itu semua sudah dicoba oleh kalangan Ilir Tak. Dalam sebuah perhitungan mereka, bila isyarat adat ini terpenuhi oleh berbagai kalangan masyarakat Landak, memungkinkan kegoyahan dalam roda pemerintahan Landak segera mengemuka. Namun hal itu tak terlampau diperhitungkan, mengingat Belanda memberikan perlindungannya bagi kalangan ini dalam persaingan kuat dengan kalangan Oeloe Tak.

Dan untuk itu pula, ketika sistem pajak belasting dan rodi dirubah menjadi sistem pajak belasting dan rodi atau dalam istilah setempat nembok diberlakukan per-pintu atau lawang rumah masyarakat dan diberlakukan pula bagi masyarakat di atas 15 tahun. Dan dalam waktu bersamaan sistem ini kembali diperketat, untuk diberlakukan per-kelambu, atau dalam pengertian harus diterima dan diterapkan secara menyeluruh. Kalangan Ilir Tak sama sekali tidak menggubris sistem ini. Bahkan terkesan memuluskan jalannya penindasan Belanda terhadap rakyat Landak itu sendiri. Adanya sistem diberlakukan itu jelas membawa dampak resiko yang sangat menyulit dan menyudutkan rakyat.

Perubahan pajak dari pintu ke kelambu bagi orang yang sudah dewasa membawa dampak luas, tipa lawang atau pintu biasanya terdiri dari beberapa kelambu. Turun nembok, istilahnya, biasanya bersamaan waktunya dengan saat mulai bercocok tanam padi di ladang. Akibat dua sistem ini, kesemua aktifitas agraris masyarakat Landak terbengkalai. Siang malam rakyat menjalankan perintah rodi, sebelumnya hanya 20 hari dalam setahun, namun belakangan terakhir dengan waktu tak terbetas. Dan kalangan Ilir Tak sama sekali tak memberikan reaksinya atas sistem yang menyimpang dari tata aturan semula ini.

Dikarenakan diberlakukannya sistem tersebut, sebagian masyarakat Landak memilih meninggalkan daerah semulanya. Mereka hijrah ke wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak, termasuk ke Sungai Ambawang dan Sekilap Sepatah di tepi aliran Sungai Landak dan Sungai Ambawang. Oleh sebab itulah, damak yang semula beradar di kalangan terbatas, kemudian memperoleh dukungan luas. Tak sebatas wilayah edarnya di daerah Menyuke, damak belakangan meluas ke seluruh wilayah Kerajaan Landak. Dan di belakangan tabir itu semua, Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma bersama Ya’ Bujang Wedana Jayakusuma adalah konseptor yang memainkan peranan penting dan menerapkan langkah strategisnya.

PERGOLAKAN BERSENJATA RAKYAT LANDAK
Saat perayaan khitanan (besnijdenis van den) Pangeran Ratu Gusti Abdulhamid, putra panembahan terdahulu Azis, kepala-kepala dan tua-tua kampung di samping turut merayakan pesta tersebut, juga membawa sumbangan sebagaimana digariskan dalam Hukum Adat 12 Perkara. Di antara mereka ini yang hadir Mangku Rasan, Mangku Bintan, Mangku Empen, Raksapura Setolo, Temenggung Jelimpo, Temenggung Naya dan lainnya. Perhelatan tujuh hari ini dimanfaatkan para tetua dan pemuka rakyat mengatur strategi dikoordinir Panglima Ganti dan Anggui dari Kampung Rasan, Panglima Bida dari Kampung Rayan dan Panglima Daud serta Ya’ Bujang Wedana Jaya Kesuma bekas Wedana Darit. Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma berada di belakang layar rencana yang akan dilakukan kemudian.

Controleur van Landak Marius Lodewijk Horsting seorang bestuur berpendirian keras. Dia sangat dekat [atau sebaliknya] elit Kerajaan Landak masa ini. Wakil Panembahan Gusti Budjang Isman Tajuddin Pangeran Mangkubumi, dan Ya’ Amin Adipati Wira Negara digolongkan dalam kelompok ini. Ketiganya kurang disenangi rakyat, dikaitkan dengan Partai Ilir dan Partai Ulu. Semakin jelas Ulu Tak dan Ilir Tak, melonggarkan strategi yang dimainkan Horsting, terlebih Gusti Bujang dan Ya’ Amin dua elit yang berpengaruh dalam birokrasi Landak sukar dipisahkan dari kebijakan bestuur ketika itu.

Selasa malam 1 Nopember 1912, atas undangan Sunduk Mangku Rasan secara rahasia atas perintah Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma, berkumpul sejumlah kepala dan tetua Dayak dan Melayu masing-masing beserta pengikutnya. Disiapkan adat berimah, suatu upacara sakral memanggil roh leluhur untuk keberhasilan suatu rencana. Pada 2 Nopember paginya, di muara Sungai meyuke di Kampung Munggu percabangan Sungai Landak ke arah Ngabang, acara sakral inipun dilakukan. Sedikitnya mendatangkan 700 orang rakyat Dayak dan Melayu yang bersimpati dan terkoordinir untuk menuju ke suatu tujuan khusus yang disiapkan Natakusuma.

Namun demikian, sejak acara sunatan Pangeran Ratu Gusti Hamid di Keraton Raja Ngabang, bestuur ambtenaar Belanda dalam lingkup kontrolir telah mencium gelagat ini. Mungkin ini latarnya, 30 Oktober 1912, sehari sebelum persiapan berimah dilakukan, dari Pontianak Controleur Horsting berada di Munggu diikuti pasukan tambahan dari Pontianak. Militer dalam jumlah kecil namun bersenjata lebih dari yang dihandalkan rakyat, dipimpin Letnan Krabbenbos dengan sejumlah serdadu dan gewapende politie dinaar, masing-masing 6 orang, serta Daeng Saleh Polisi Kahar atau Landschap.

Entah bagaimana, Horsting serta merta memanggil Pangeran Nata Kusuma (diikuti juga dengan dipanggilnya Pangeran Riya) untuk sebuah pertemuan. Mereka berada di atas Kapal Kahar, armada kecil yang membawa kontrolir beserta pasukan bersenjata dari Ngabang dan bantuan militer dari Pontianak. Rencana semula, kapal ini akan ditembaki di daerah Sempadang. Namun, satu sama lain pemuka Dayak dan Melayu yang telah berimah tak menangkap isyarat lebih. Sebaliknya, keberadaan Natakusuma di kapal tersebut, terlebih diikuti Pangeran Riya, mereka menafsirkan telah terjadi suatu perdamaian keduabelah pihak.

Di Ngabang saat bersamaan, sekitar 700 rakyat dibubarkan. Termasuk Sunduk Mangku Rasan, dipanggil ke kantor kerajaan dan dihadiahi sebungkah mando [tempayan] dan piring putih tanda adat persaudaraan dan perdamaian oleh Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin. Dengan sendirinya, rakyat yang telah bersiap bertempur terpelah. Sebagian besar kembali ke kampung halaman, sebagian kecil masih bertahan mengikuti perkembangan lanjut. Dan yang disebutkan terakhir menemukan suatu fakta nyata dipimpin Panglima Anggui dan Ganti. Mereka sadar, suatu muslihat telah terjadi, Natakusuma masuk jebakan kontrolir, tentunya atas strategi yang dipersiapkan elit kerajaan yang memang berseberangan dengannya.

Malam 3 Nopember 1912, Anggui dan Ganti diikuti beberapa orang pengikut menyusup memasuki Ngabang. Mereka bertahan di sekitar Kampung Raja dengan mengamankan diri di sekitar rumah Gusti Sahidin. Dari jarak yang tak terlalu jauh dari kolong rumah Gusti Sahidin pula, Panglima Ganti melepaskan tembakannya ke arah Ya’ Amin Pangeran Adipati Wira Negara. Dan letusan senapannya yang mengarah ke sasaran yang tepat, Ya’ Amin roboh seketika. Seketika pula Ganti dan Anggui meninggalkan Ngabang kembali ke Rasan. Dari sana, mereka masing-masing memboyong keluarga menuju Sambeh untuk selanjutnya ke Pontianak atas bantuan Wedana Suta yang menyembunyikan mereka.

Atas kejadian itu, beberapa hari kemudian Asisten Residen Borneo Barat Edward Ludwig Martin Kurh berada di Ngabang. Dia diikuti Controleur Horsting serta membawa Gusti Abdurrani Pangeran Nata Kusuma serta mengajak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin. Namun, suatu yang tidak diduga sebelumnya, tidak berapa lama memastikan Ngabang berada dalam keadaan aman, Kurh serta rombongannya kembali ke Pontianak, dengan menawan Gusti Abdurrani. Di Pontianak Natakusuma diinapkan di tempat terpisah dengan Pangeran Mangkubumi, Natakusuma di sebuah rumah milik seorang Cina sedangkan Mangkubumi di rumah kapten Djengkawang.

Beberapakali Natakusuma meminta waktu menghadap Residen Hendri de Vogel MH Zn, namun tidak diberi sedikit kesempatan. Setelah mangkubumi dan Horsting kembali ke Ngabang, Natakusuma langsung diinapkan khusus di kediaman seorang jaksa, untuk selanjutnya dirumahkan di penjara Sungai Jawi Pontianak. Sekitar seminggu di penjara Pontianak, kemudian dipindahkan penahanannya di Batavia bertempat di Kampung Ketapang bersama Ya’ Bujang yang juga telah ditangkap. Kurun dua tahun, 1912—1914, Natakusuma ditahan di Batavia, seterusnya dengan Besluit Gouverneur generaal Alexander Willem Frederik Idenburg atas dasar Exorbitante Rechter 6 januari 1914 Nomor 43, Natakusuma diasingkan seumur hidup. Ia dan Ya’ Bujang dipersalahkan melanggar Art 48 RR, dan sejak 16 Maret 1914 mendekam di tanah pembuangannya di Bengkulen.

NYALA API TAK KUNJUNG PADAM
Keberadaan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma sebagai salah seorang pewaris birokrasi feodal lokal Landak tidak memperoleh tempat di mata kolonial Belanda. Elit birokrasi Landak sendiri bersikap sama memandang keberadaan Natakusuma. Bahkan digariskan sebagai orang yang menghalangi suatu pasifikasi di lingkungan Kerajaan Landak. Karena itu, pertikaian antar elit yang di satu pihak Natakusuma beserta pengikutnya dengan di lain pihak elit feodal Landak dibayangi kolonial Belanda, tidak mungkin terhindarkan. Meski dalam kenyataannya, keduabelah pihak tidak menampakkan keterusterangan mereka dalam suatu silang sengketa. Seterusnya, kondisi nyata diperlihatkan dengan adanya campur tangan Residen Borneo Barat, yang sudah barangtentu dengan sepengetahuan Gubernur Jenderal di Batavia, mempertegas pertikaian elit Landak tersebut.

Saat Natakusuma diinternir di Batavia, menunggu keputusan terakhir yang kelak mengantarkan ke pengasingan hingga akhir hayatnya, seorang advokat berkebangsaan Belanda, Mr AJG Maclaine Pont, berusaha melakukan suatu pembelaan. Namun, upaya itu tanpa banyak pertimbangan, ditolak tegas Gubernur Jenderal, terutama terhadap surat yang diajukan Pont 5 Mei 1913 kepada Raad van Nederlandsch Indie yang dimaksudkan untuk suatu pembelaan dalam perkara yang dituduhkan. Natakusuma sendiri, beberapa hari menjelang diberangkatkan ke pengasingannya di Bengkulen menulis surat kepada pemerintah kolonial yang disampaikan melalui CM Kan Ajudan Gubernur Jenderal di Batavia, pun tidak memperoleh respon sama sekali.

Dalam kasus ini, sebetulnya pihak pemerintah Belanda tidak mengabaikan hak-hak pembelaan diri yang dimiliki Natakusuma. Akan tetapi, suatu permintaan (mungkin lebih tepat pengaduan yang dilebih-lebihkan) kalangan elit Landak, menyebabkan pihak kolonial menutup rapat kesempatan itu sama sekali. Controleur Horsting sangat berkepentingan, seperti juga elit Landak, dikarenakan Natakusuma dalam latar belakang pergolakannya menentang skandal korupsi yang terjadi di sana, di mana penyelewenangan penerimaan belasting dan pelaksanaan pekerjaan rodi nyata-nyata dipeti-eskan oleh Horsting dan elit Landak sendiri. Bahkan, keduanya di satu pihak menikmati buah korupsi tersebut dengan cara masing-masing.

Dalam konsideran Besluit Gouverneur Generaal nomor 43, 6 Januari 1914 yang ditimpakan kepada Natakusuma, tuduhan yang memberatkan padanya antara lain: … bahwa untuk mencapai tujuannya, ia [Natakusuma] telah menggunakan berbagai kesempatan, menghasut rakyat di Kerajaan Landak, mendurhaka pada pemerintah. Bahwa pada 1911 sewaktu perayaan menyunat Pangeran ratu Gusti Abdulhamid ia [Natakusuma] telah mengatakan: … kalau saya menjadi raja rakyat dikenakan belasting 1 ringgit (f2,50), seekor ayam dan segantang beras pertahun. Bahwa pada kunjungan keliling di Sengah Temila (daerah pegangan kekuasaan Natakusuma), ia [Natakusuma] telah membicarakan kepada penduduk ide baru mengenai pembayaran belasting sama dengan apa yang telah dibicarakannya sewaktu perayaan menyunat Pangeran Ratu. Bahwa ia telah menyebabkan penduduk Kampung Ransam membangkang tidak mau membayar belasting dan kerja jalan (rodi) dan kemudian pembangkang ini diikuti oleh kampung-kampung lainnya. [Natakusuma} memerintahkan kepada kepala-kepala dan tua-tua Dayak dan Melayu untuk menghadiri pertemuan rimah besar di Kampung Munggu di Kuala Menyuke pada Oktober 1912 ...

Juga besluit itu menuduhkan: … bahwa ia [Natakusuma] ketika dibawa serta oleh Controleur bersama pasukan menghadiri rimah besar di Munggu, ternyata pasukan tersebut tidak ditembak pemberontak. Bahwa ia setelah peserta rimah besar di Kampung Munggu Kuala Menyuke telah kembali ke kampungnya masing-masing, ia [Natakusuma] menyuruh Kaij Djali bin Djulak untuk pergi berkunjung ke Kampung Rasan menyampaikan pesan berupa perintah kepada Sunduk Mangku Rasan, bahwa apabila pasukan tentara datang ke Rasan untuk menangkapnya, harus ditembak. [Dan] … bahwa ia telah mengirim surat perintah untuk menggalakkan perjuangan, harus mendirikan kubu-kubu pertahanan di Sungai Ringin, Jering, Mandor dan pada beberapa tempat lainnya. Serdadu Belanda yang datang ke kampung agar diusir jauh-jauh atau ditembak mati …

Sebetulnya, hubungan Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma dengan onlusten (kaum pemberontak) sangatlah jelas. Namun Natakusuma tidak tampil memimpin langsung perlawanan yang dilakukan rakyat Landak, melainkan sebagai orang yang berada di belakang layar perlawanan rakyat Landak [Dayak dan Melayu]. Perlawanan yang dilakukan, tampil ke depan adalah para panglima dan pengikutnya yang semuanya menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Karena itu, sebetulnya tidak terdapat bukti kuat serta alasan mendasar bagi kolonial Belanda menangkap dan menghukum Natakusuma dari sudut pandang ini.

Pada permulaan, Natakusuma luput dari pengawasan lain Bestuur kolonial Belanda dengan adanya pergolakan rakyat Landak. Namun, elit Landak yang berseberangan dengannya membisikkan apa yang sebetulnya menjadi ketidaksenangan pihak ini terhadap Natakusuma kepada kolonial Belanda. Sejak diedarkannya damak perang sebagai reaksi dari pemungutan belasting dan diberlakukannya kerja rodi yang menyimpang dari politik contrack 8 Oktober 1909, rakyat Landak pertengahan 1912 membangkang menolak membayar belasting dan melakukan heerendienst. Bahkan mereka melakukan perlawanan terhadap petugas pemerintah yang datang ke kampung-kampung untuk menagih belasting dan memerintahkan turun rodi. Di banyak tempat di Landak terjadi pemberontakan dan korban berjatuhan di pihak polisi atau militer Belanda.

Natakusuma pernah meminta ijin kepada Controleur Landak untuk mengerjakan sawahnya di Maran, ia disertai pangeran Riya sebagai pemegang kuasa di daerah itu. Kesempatan ini sebetulnya dipergunakannya untuk berhubungan dengan Sunduk Mangku Rasan yang mengantarkan rimah besar di Munggu kelaknya, di mana letak Maran dan Rasan berdekatan. Kesempatan perayaan menyunat Pangeran ratu Gusti Hamid (besnijden van den Pangeran Ratu), para pemuka Dayak dan Melayu, yang dalam skala khusus berada di pihak Natakusuma, menjadikan sisi lain acara itu untuk mereka bermufakat menyatukan pendapat untuk melaksanakan apa yang digariskan Natakusuma: perlawanan rakyat Landak.
Sehari menjelang 2 Nopember 1912, sewaktu pemuka Dayak dan Melayu beserta pengikut mereka berdatangan di Munggu di Muara Menyuke untuk rimah besar, Natakusuma tidak ikut hadir. Ia saat itu bersama beberapa orang lainnya termasuk Letnan Krabbenbos sedang melakukan perburuan di Merasa. Strategi ini diciptakan untuk merupakan alibi yang kuat bahwa ia tidak tahu dan tidak ikut terlibat dalam rimah tersebut. Akhirnya, 4 Nopember dengan ikut sertanya Natakusuma bersama pasukan dari Pontianak mudik ke Munggu, ia menemui nasib malang. Serangan para pemberontak terhadap pasukan Belanda tidak kelihatan sama sekali, bahkan Natakusuma sendiri kemudian ditawan. Kesemua itu telah ditelikung elit Landak yang berseberangan dengannya, dengan suatu persekutuan dengan Belanda, mereka berhasil menyingkirkan Natakusuma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar