biar seratus bunga mekar bersama dan biar saratus aliran berlomba, hidup berdampingan jangka panjang dan saling mengawasi jangan sampai generasi muda arogan dan melupakan sejarah

Jumat, 04 Februari 2011

CARA MEMBUAT CANDI

BAGAIMANA CARA MEMBUAT CANDI
Orang yang berniat bikin candi kita sebut Yajamana. Dia harus menghubungi Maha Brahmana dengan para pekerjanya yang disebut Silpin. Terus mereka nyari tempat yang kira-kira pas buat ngebangun monumen suci ini, biasanya sih tempat yang dekat dengan air, dan lebih bagus lagi kalo lokasinya di dekat pertemuan dua sungai (tempuran). Selain itu ada beberapa lahan terlarang untuk lokasi candi, misalnya tanah bekas pembakaran mayat, tanah berpasir, tanah berbatu, dan tanah rawa. Setelah kira-kita ketemu, lahan masih harus menjalani beberapa tahap pemeriksaan.
Yang pertama tahap pemeriksaan tanah yang disebut juga Bhupariksa. Tahap ini bisa lewat dua cara, cara magis atau dengan cara biasa. Kalo lewat cara biasa, yang pertama di periksa adalah kepadatan tanahnya. Caranya ada macem-macem. Cara yang pertama, tanah digali lalu diisi air dan dibiarkan selama 24 jam. Esok harinya diperiksa, kalo air terserap habis atau hanya tersisa sedikit artinya tanahnya nggak bagus karena terlalu gembur. Kalo air berkurangnya cuma sedikit, alamat tanahnya juga nggak bagus. Tanah yang paling baik kalo airnya tersisa setengah. Selain lewat cara ini, cara lain untuk memeriksa kepadatan tanah adalah dengan menggali lalu diurug lagi. Kalo setelah diurug tanahnya terlalu sedikit maka artinya tanah nggak bagus, begitu juga kalo tanahnya berlebihan, jadi harus sama rata.
Lalu kita memasuki tahap kedua (masih tahap kedua? Cape deh…). Di tahap ini yang di uji adalah kandungan gas tanah. Caranya? Di malam hari ditaroh clupak (pelita dari tanah liat) di atas tanah yang dimaksud. Kalo setelah dinyalakan apinya langsung padam, artinya tanah nggak bagus karena banyak mengandung gas beracun. Kalo api nyala tapi mengarah ke selatan juga nggak bagus karena selatan adalah arah dewa kematian (Dewa Yama). Yang paling bagus kalo api menyala tegak lurus.
Tahap yang ketiga menguji kesuburan tanah. Tanah diairi, dicangkul, dibajak, lalu ditaburi benih. Kalo benih itu berhasil tumbuh dalam waktu 1-2 hari maka tanah ini adalah tanah brahmana (kualitas nomor wahid). Kalo benih berhasil tumbuh dalam waktu 3-4 hari disebut tanah ksatria (masih lumayan walo nggak sebaik jenis brahmana). Kalo tumbuh dalam waktu 5-6 hari di sebut tanah waisya. Kalo nemu tanah jenis ini, terserah deh masih mau dipake atau dibuang. Dan terakhir, kalo tumbuhnya lebih dari 7 hari maka disebut tanah sudra yang mendingan kagak usah dipake, nggak berkualitas, bo’. Tes ini dilanjutkan dengan menguji warna dan bau tanah. Tanah Brahmana biasanya berwarna seperti mutiara dan berbau harum sementara tanah ksatria berwarna merah dan berbau darah. Tanah waisya berwarna kuning keemasan, dan tanah sudra berwarna gelap atau kelabu.
Akhirnya Bhupariksa selesai . Tapi mendingan jangan seneng dulu karena awalnya baru aja dimulai. Saatnya membangun candi! Lahan yang dipilih dibatasi dengan benang putih berbentuk persegi dengan garis diagonal yang juga ditandai dengan benang. Dapet deh titik tengah yang disebut Brahmasthana (maap kalo tulisannya salah, maklum dah lama lulus kuliah), yang berarti ‘tempat bersemayamnya Dewa Brahma.’ Nah, setelah itu dibuatlah kotak-kotak atau grid (Pokoknya bayangin aja deh buku kotak-kotak kecil buat belajar matematika waktu sekolah dulu. Mirip kayak gitu) Sistem pengkotakan ini disebut Vastupurusa Mandala, dimana masing-masing kotak terdiri dari satu nama dewa. Trus, titik tengah tempat bersemayamnya Dewa Brahma tadi digali 1×1 meter dan didasarnya diletakkan peripih (Garbhapatra) yang berisi benda-benda perlambang panca maha bhuta (lima unsur alam), yaitu akasa, tanah, air, api, dan angin. Simbol-simbol yang digunakan dapat berupa biji, benang, kertas emas (biasanya bertuliskan mantra atau nama dewa), cermin perunggu, dan tulang hewan Untuk unsur api biasanya diwakilkan oleh abu, karena itu ahli-ahli Belanda zaman dulu mengidentikkan candi dengan makam. Pendapat ini ditentang sama arkeolog kita yang namanya R. Soekmono, tapi sayangnya sampe sekarang beberapa tulisan orang awam mengenai candi masih menggunakan pendapat jadul orang-orang bule ini.
Diatas titik tengah inilah biasanya dibangun candi induk, tapi ada banyak candi di Indonesia yang nggak menerapkan aturan ini. Lalu apakah caranya sama kayak orang sekarang ngebangun gedung? Kurang lebih sama sih. Mereka ngumpulin bahan-bahannya, batu-batunya (atau bata) disusun, terus dibuat deh berbagai macam hiasan yang bikin candi jadi keliatan lebih oke. Tapi ada teknik penyusunan batu maupun bata yang khas dari candi. Untuk candi berbahan bata tekniknya lebih sederhana. Bata digosokkan satu sama lain sampai tercipta bubuk yang dapat berperan seperti semen lalu diperciki dengan air. Dijamin kuat deh, bahkan mungkin jauh lebih kuat dari semen modern, buktinya bahkan setelah ratusan tahunpun bangunan-bangunan ini masih bertahan.
Tapi candi yang menggunakan batu lebih rumit karena batu-batu tersebut disambung-sambung satu sama lain. Ada banyak teknik sambungan batu yang kita kenal, salah satunya teknik sambungan batu langsung. Caranya? Satu batu misalnya di salah satu permukaannya dibuat sebuah tonjolan, dan di batu lain di buat semacam ‘lembah’ yang cocok dengan batu satunya lagi. Jadi mirip kayak puzzle gitu deh, dicocok-cocokin satu sama laen. Ada juga sambungan batu pengunci. Di teknik ini, batu yang bakal dipasang nggak dikaitkan satu sama lain kayak di teknik yang pertama, melainkan lewat bantuan batu pengunci di tengah-tengah kedua batu itu. Rumit banget sih memang. Makanya harus pikir-pikir lagi deh kalo mau corat-coret di candi. Buat bikin satu bangunan aja, mungkin nenek moyang kita butuh ratusan taon sementara kita bisa ngerusak hanya dalam waktu beberapa menit aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar